Selamat Datang di Blog www.hawadanadam.blogspot.com,blog dunia wanita jalan menuju pintu surga

Sabtu, 18 Desember 2010

Larangan Keluar Rumah Tanpa Adanya Kebutuhan

Amr bin Abdul Mun'im

Imam Ibnu Jauzi Rahimahullahu mengatakan. [Ahkamun Nisa' hal. 32]
"Seorang wanita harus senantiasa berusaha untuk tidak keluar rumah meskipun ada kesempatan. Apabila keadaan mendesaknya keluar, maka dia harus meminta izin kepada suaminya, dan harus memilih jalan sepi, jauh dari keramaian dan pasar. Selain itu, dia harus berjalan dengan langkah yang tidak terdengar dan berjalan di tepi jalan dan bukan di tengahnya".
Dalam hal ini penulis katakan, hal itu didasarkan pada adanya seruan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mengharuskan kaum wanita untuk tetap tinggal di rumah dan tidak keluar kecuali untuk keperluan.
Allah Azza wa Jalla telah berfirman.
    "Artinya : Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian (1) dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu (2) ..." [Al-Ahzab : 33]
  1. Maksudnya adalah isteri-isteri Rasulullah agar tetap di rumah, dan keluar apabila ada keperluan yang dibenarkan oleh syarat. Perintah ini juga ditujukan kepada seluruh wanita Muslimah.
  2. Yang dimaksud dengan "Jahiliyah dahulu" adalah Jahiliyah kekafiran yang terdapat sebelum zaman Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan yang dimaksud dengan "Jahiliyah sekarang" adalah Jahiliyah kemaksiatan yang terjadi sesudah datangnya Islam.
Perintah ini meskipun hanya ditujukan kepada isteri-isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun demikian mencakup seluruh wanita Muslimah.
Dari Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu anha, dia menceritakan.
    "Artinya : Seandainya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui apa yang terjadi pada kaum wanita, niscaya beliau akan melarang mereka berangkat ke masjid sebagaimana larangan yang berlaku bagi wanita Bani Israel". [Hadits Riwayat Muttafaqun 'alaih]
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu, dia menceritakan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
    "Artinya : Janganlah kalian melarang isteri-isteri kalian pergi ke masjid, tetapi berdiam di rumah adalah lebih baik bagi mereka". [Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud (567) melalui Habib bin Abi Tsabit, dari Ibnu Umar].
Dari Aisyah Radhiyallahu anha, dia menceritakan.
    "Artinya : Saudah -setelah dikeluarkan perintah penguluran hijab- keluar untuk suatu keperluan, dia ini wanita berbadan besar, tidak asing bagi orang yang melihatnya. Maka Umar bin Khaththab melihatnya dan berkata. "Wahai Saudah, demi Allah, apa yang sembunyikan dari kami. Lihatlah bagaimana engkau sembunyikan dari kami. Lihatlah bagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedang beliau berada di rumahku melakukan makan malam dan ditanganya terdapat otot. Kemudian dia (Saudah) menemui beliau dan berkata. "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pernah keluar untuk beberapa keperluan, lalu Umar berkata kepadaku : 'ini dan itu'. Aisyah melanjutkan. "Lalu Allah memberikan wahyu kepada beliau, dan diangkat darinya dan beliau berkata. "Sesungguhnya telah diizinkan kepada kalian keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan". [Hadits Riwayat Muttafaqun 'alaih]
Oleh karena itu, wahai wanita Muslimah, kalian semua harus mengindahkan dan mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya untuk tetap tinggal di rumah, dan tidak keluar kecuali untuk keperluan yang telah ditetapkan oleh syari'at, serta senantiasa memperhatikan sopan santun yang diajarkan syari'at dalam bepergian.
* Larangan Keluar Rumah Tanpa Adanya Kebutuhan

Keringanan Untuk Pergi Menuntut Ilmu Yang Diharuskan Syari'at

Amr bin Abdul Mun'im

Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya telah memerintahkan kita untuk menuntut ilmu yang telah ditetapkan syari'at yang kita butuhkan supaya kita dapat beribadah kepada-Nya dengan benar sehingga benar-benar diridhai-Nya.
Dimana Dia berfirman.
    "Artinya : Katakanlah, Adakah kesamaan antara orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu". [Al-Zumar : 9]
Dalam surah yang lain, Allah juga berfirman.
    "Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kalian, "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untuk kalian. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kalian, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan". [Al-Mujadilah : 11]
Sedangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda.
    "Artinya : Barangsiapa yang menghendaki kebaikan dari Allah, maka Dia memberikan pemahaman dalam agama". [Diriwayatkan oleh Muttafaqun 'alaih, dari Mua'wiyah Radhiyallahu 'anhu]
"Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah".
Ilmu inilah yang diminta oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam do'anya.
    "Artinya : Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, dan aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat". [Hadits ini isnadnya Laa Ba'sa Bihi. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (3843), juga Al-Ajiri dalam pembahasan "Akhlaqu Al-Ulama" (108) melalui Usamah bin Yazid, dari Muhammad bin Al-Munkadirm dari Jabir. Mengenai masalah ini saya telah menjelaskan secara rinci dalam buku saya yang berjudul Akhlaqun Mahmudatun wa Akhlaqun Mazmuataun Fii Thalabi Al'Ilmi (Akhlak Terpuji dan Akhlak Tercela Dalam Menuntut Ilmu) hal. 97]
Sama seperti orang laki-laki, wanita juga diberi tugas untuk menuntut ilmu, yaitu belajar hal-hal yang berkenaan dengan agama, misalnya Thaharah, Shalat, Zakat Haji dan lain-lainnya yang dibutuhkannya dalam memahami masalah agama.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengetahui bahwa banyak dari para suami yang tidak mengetahui dan memahami agama.
Beberapa dalil yang menunjukkan hal itu banyak sekali dalam hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha sendiri pernah berkata : "Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar, mereka tidak malu-malu untuk bertanya mempelajari dan memahami agamanya". (Lihat Kitab Shahih Bukhari, kitabul 'ilmi. Dan juga kitab Shahih Muslim kitabul haid). Sulaim bin Milhan, Ibunda Anas bin Malik pernah datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu pada kebenaran, maka aku pun tidak malu untuk bertanya : "Apakah wanita wajib mandi bila bermimpi ?". Maka Rasulullah menjawab : "Ya, apabila dia melihat adanya air mani !" Maka Ummu Sulaim pun menutup wajahnya karena malu. Kemudian bertanya lagi : "Wahai Rasulullah, Apakah wanita juga mimpi seperti itu ?" Beliau menjawab : "tentu, kalau tidak, mengapa ada anak yang mirip dengan ibunya !" [Lihat kitab Shahih Bukhari, kitabul 'ilmi. Dan juga kitab Shahih Muslim, kitabul haid]
Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa Ummu Sulaim pernah datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sedang didampingi oleh Aisyah Radhiyallahu 'anha. Ketika Ummu Sulaim bertanya kepada Nabi, Aisyah berkata : "Wahai Ummu Sulaim, Mengapa engkau beberkan rahasia wanita ?" Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata kepada Aisyah : "Biarkanlah, hendaklah engkau mandi wahai Ummu Sulaim apabila melihat air mani itu".
Demikian itulah Ummu Sulaim pergi menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menanyakan hal-hal yang berkenaan dengan agama, yang tidak menemukan jawabannya pada orang lain.
Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak segan-segan menjawabnya serta tidak memarahi kedatangan tersebut.
Hal yang sama juga diceritakan oleh Aisyah Radhiyallahu 'anha : Fatimah bin Hubaisy pernah berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Wahai Rasullulah, sesungguhnya aku dalam keadaan istihadhah dan tidak suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat selamanya ?".
Rasulullah menjawab. "Sesungguhnya yang demikian itu adalah darah yang keluar dari pembuluh darah, tinggalkan shalat selama hari-hari engkau menjalani haid, setelah itu bersihkanlah dirimu dan kerjakan shalat". [Hadits Shahih. Diriwayatkan oleh Imam Muslim (1/262), Imam Tirmidzi (125), Imam Nasa'i (1/181), Ibnu Majah (621) melalui Waki' dari Hisyamn bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah Radhiyallahu 'anha]
Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa Asma' binti Yazid bin al Sakan al-Anshariyyah (1), dia pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai mandi dari haid. Maka Rasulullah menjawab: "Hendaklah salah seorang di antara kalian menyediakan air yang bercampur dengan daun sidra, lalu bersucilah dengan sebaik-baiknya. Setelah itu tuangkanlah air dan gunakanlah secarik kain atau kapas yang telah diberi wangi-wangian, untuk selanjutnya bersihkanlah darah haid itu dengannya". Maka Asma binti Yazid pun bertanya: "Bagaimana cara bersuci denganya ?" Rasulullah pun menjawab: "Subhanallah, bersucilah dengannya !". Lalu Aisyah Radhiyallahu 'anha bertutur dengan sangat merahasiakannya: "Usaplah dengannya bekas-bekas darah haid !".
Selain itu, Asma binti Yazid juga bertanya mengenai mandi janabat, maka beliau pun menjawab : "Ambil air dan bersucilah dengannya secara baik. Kemudian guyurkanlah air di atas kepalamu dan gosok-gosoklah kulit dan rambutmu hingga rata. Setelah itu tuangkanlah air ke seluruh tubuhmu". [Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam kitabul haid persis dengan lafadz tersebut di atas]
Dari Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, menceritakan :
Ada beberapa wanita yang bertutur kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Kami dikalahkan oleh kaum laki-laki untuk belajar kepadamu, karenanya luangkanlah waktumu barang satu hari bagi kami. Beliau pun menjanjikan suatu hari untuk mengadakan pertemuan dengan mereka, lalu beliau memberikan nasehat dan mengajari mereka". [Hadits Riwayat Muttafaqun 'alaihi]
Seorang wanita mempunyai hak pergi belajar hal-hal yang berkenan dengan agama yang dibutuhkannya guna memperbaiki ibadah yang dijalankannya.
Pada sisi lain, seorang wanita tidak diperbolehkan pergi belajar ilmu-ilmu yang sifatnya fardhu kifayah, apabila suaminya memerintahkan untuk tinggal di rumah saja, karena ketaatan kepada suami merupakan suatu hal yang wajib sedangkan belajar ilmu-ilmu yang sifatnya fardhu kifayah adalah sunnah jika tidak dikhawatirkan timbulnya fitnah, dan tidak diragukan lagi bahwa suatu hal yang wajib harus didahulukan dari yang sunnah.
Tetapi apakah ada syarat-syarat yang harus dipegang teguh seorang wanita pada saat keluar rumah untuk tujuan tersebut ?.
Jawabannya, "Ya". Ada beberapa syarat dan tata cara yang harus diperhatikan dan dijalankan seorang wanita ketika pergi menuntut ilmu. Mengenai syarat-syarat dan tata cara tersebut telah kami terangkan secara rinci dalam buku kami yang berjudul Al-Adab Al-Syra'iyyah Li-Anisa Fii Thalabu Al-'Ilm. Oleh karena itu, kami anjurkan supaya wanita muslimah membaca buku tersebut karena terdapat keterangan dan penjelasan mengenai adab dan tata cara menuntut ilmu yang harus diketahuinya.
* Keringanan Untuk Pergi Menuntut Ilmu Yang Diharuskan Syari'at

Keringanan Memakai Wangi-Wangian Yang Tidak Tercium Baunya Oleh Selain Muhrim

Amr bin Abdul Mun'im

Wanita muslimah hendaknya mengetahui bahwa minyak wangi (parfum) merupakan salah satu perhiasan baik bagi laki-laki maupun bagi wanita, yang secara mutlak diperbolehkan bagi orang laki-laki dan pada waktu-waktu tertentu disunnahkan.
Sedangkan bagi wanita diberikan keringanan untuk memakainya. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
    "Artinya : Apabila salah seorang di antara kalian menyaksikan waktu Isya' -dalam sebuah riwayat disebutkan : masjid- maka hendaklah dia memakai wangi-wangian pada malam itu". [Hadits Riwayat Muslim]
Juga sabdanya.
    "Artinya : Setiap wanita mana saja yang terkena bau wangi, maka hendaklah dia tidak mengerjakan shalat Isya' bersama kami". [Hadits Riwayat Muslim] "Artinya : Setiap wanita mana saja yang memakai wangi-wangian lalu dia berjalan melewati suatu kaum supaya mereka mencium bau wanginya itu, berarti dia telah berzina". [Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (IV/414) Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud (4173). Imam Tirmidzi (2786). Imam Nasa'i (VIII/153) melalui Ghanim bin Qais dari Abu Musa Al-Asy'ari]
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, "maka hendaklah dia tidak memakai wangi-wangian pada malam itu" secara jelas membolehkan wanita memakai wangi-wangian di dalam rumah mereka selama baunya tidak tercium oleh laki-laki yang bukan muhrim.
Dari Abu Sa'id Al-Khudry Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda.
    "Artinya : Mandi pada hari jum'at wajib bagi setiap orang yang bermimpi, juga bersiwak, dan memakai minyak wangi secukupnya".
Dari Zainab bin Abi Salamah Radhiyallahu 'anha, dia menceritakan tentang hadits tiga orang ini. Zainab binti Abi Salamah berkata.
Aku pernah mendatangi Ummu Habibah, isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pada saat ayahnya, Abu Sufyan bin Harb meninggal dunia, lalu dia meminta diambilkan minyak wangi yang berwarna kuning, lalu seorang hamba sahaya wanita memakaikan dan mengusapkan ke jambangnya, kemudian berkata : "Demi Allah, sebenarnya aku tidak membutuhkan minyak wangi, tetapi aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda.
    "Artinya : Tidak diperbolehkan bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih dari tiga hari, kecuali karena kematian suaminya, selama empat bulan sepuluh hari".
Selanjutnya Zainab berkata. "Kemudian aku masuk menemui Zainab binti Jahsy pada saat saudaranya meninggal. lalu dia mengambil minyak wangi dan memakainya, kemudian berkata : "Demi Allah, sebenarnya aku tidak membutuhkan minyak wangi, tetapi aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda.
    "Artinya : Tidak diperbolehkan bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih dari tiga hari, kecuali karena kematian suaminya, selama empat bulan sepuluh hari".
Lebih lanjut Zainab menceritakan : Dan aku juga pernah mendengar Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha berkata. "Ada seorang wanita yang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya bertutur. "Wahai Rasulullah, putriku telah ditinggal mati suaminya dan ketika dia sakit mata, apakah boleh aku mencelakinya ?. "Tidak", jawab Rasulullah. Ketika pertanyaan itu diulang sampai dua tiga kali tetap dijawab tidak, oleh beliau. Kemudian beliau bersabda. "Sesungguhnya hanya empat bulan sepuluh hari padahal dulu di masa jahiliyah membuang kotoran unta (yakni membuang sial) hanya sesudah satu tahun".
Hummaid berkata, "Maka aku bertanya kepada Zainab bagaimana membuang kotoran unta sesudah satu tahun itu ?. Zainab menjawab. "Seorang wanita apabila ditinggal mati suaminya lalu ke sepen (gubug kecil di belakang rumah) dan memakai baju yang paling buruk dan tidak boleh mengenakan wangi-wangian selama satu tahun, dan sesudah satu tahun dibawakan kepadanya keledai atau kambing atau burung. Kemudian dia bersihkan badannya dari semua kotoran dengan menggunakan binatang tersebut dan jarang sekali binatang yang digunakan untuk membersihkan badannya itu dapat hidup, yakni segera mati. Selanjutnya dia keluar dari sepen tersebut lalu diberikan kotoran unta untuk dilemparkannya, lalu kembali seperti biasa mengenakan wangi-wangian dan lain sebagainya".
Malik ditanya : "Bagaimana cara membersihkan hal itu ?. Dia menjawab. "Mengusap-usapkan badannya ke binatang itu". [Hadits Riwayat Muttafaqun 'alaihi].
Semua hadits di atas secara jelas membolehkan wanita memakai wangi-wangian, tidak mutlak. Karena seperti yang telah kami uraikan sebelumnya bahwa minyak wangi merupakan salah satu perhiasan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan kaum wanita untuk tidak memperlihatkan perhiasan mereka kepada laki-laki yang bukan muhrimnya, dimana Dia berfirman.
    "Artinya : Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa nampak darinya. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami, ayah mereka, ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan jangan mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung". [An-Nuur : 31]
Tidak diragukan lagi bahwa minyak wangi merupakan salah satu macam dari perhiasan yang tidak diperbolehkan untuk diperlihatkan kepada orang-orang yang bukan muhrimnya, sebagaimana telah ada larangan bagi wanita pergi ke masjid dengan memakai minyak wangi. Dan ancaman bagi wanita yang keluar rumah dengan memakai minyak wangi supaya orang laki-laki mencium baunya sungguh sangat berat.
Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits dari Abu Musa Al-Asy'ari Radhiyallahu 'anhu, dia menceritakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda.
    "Artinya : Setiap wanita mana saja yang memakai wangi-wangian lalu dia berjalan melewati suatu kaum supaya mereka mencium bau wanginya itu, berarti dia telah berzina". [Hadits ini Shahih. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (IV/414). Juga diriwayatkan Abu Daud (4173). Imam Tirmidzi (2786). Imam Nasa'i (VIII/153) melalui Ghanim bin Qais, dari Abu Musa Al-Asy'ari]
Oleh karena itu wanita Muslimah diberikan untuk memakai wangi-wangian di dalam rumah dengan syarat tidak tercium oleh orang-orang yang bukan muhrimnya, karena wangi-wangian itu dapat membangkitkan nafsu birahi dalam diri mereka, selain karena wangi-wangi itu juga termasuk perhiasan yang apabila diperlihatkan akan mamancingkan timbulnya perzinaan.
Hal ini terlihat pada apa yang dikandung dalam hadits berikut ini.
    "Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, sesungguhnya dia tidak pernah menolak minyak wangi. Dan dia merasa yakin bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga tidak menolak minyak wangi". [Hadits Riwayat Bukhari]
Apabila seorang wanita hendak pergi ke masjid atau untuk beberapa keperluan, maka hendaklah dia tidak memakai minyak wangi. Dan apabila telah terlanjur mamakainya di rumah sedang dia harus pergi ke suatu tempat maka dia harus membersihkan diri sehingga bau minyak wangi itu tidak tercium". [Telah disebutkan dalam sebuah hadits dha'if dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dimana beliau bersabda: "Apabila seorang wanita akan pergi ke masjid maka hendaklah dia mandi membersihkan diri dari minyak wangi seperti dia mandi janabah". Diriwayatkan oleh Imam Nasa'i (VIII/153) melalui Shafwan bin Salim, dari seorang yang dapat dipercaya, dari Abu Hurairah. Mengenai hal ini penulis . 'Perawi hadist ini dari Abu Hurairah mubham (tidak jelas), meskipun didukung oleh Shaewan bin Salim. Dan juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam bukunya Al-Musnad (11/297, 444,461) melalui Ashim bin Ubaidillah, dari Ubaid Maula, dari Abu Hurairah. Ashim bin Ubaidillah adalah orang yang dha'if. Dan seperti yang kami sebutkan, dia tidak dapat dijadikan pegangan dalam hadits ini. Seperti yang diketahui, kebanyakan minyak wangi akan hilang dengan siraman air, dan itu tidak lain kecuali dengan mandi].
* Keringanan Memakai Wangi-Wangian Yang Tidak Tercium Baunya Oleh Selain Muhrim

Larangan Menyerupai Laki-Laki

Amr bin Abdul Mun'im

Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhu, dia menceritakan.
    "Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat orang laki-laki yang bersikap seperti wanita dan wanita seperti laki-laki".
Sedangkan dalam riwayat yang lain disebutkan.
    "Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat orang laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki". (Hadits Riwayat Bukhari)
Hadist di atas menunjukkan kepada kita larangan bagi laki-laki untuk menyerupai wanita, baik itu dengan cara melembutkan suara maupun dengan menirukan gerakan, pakaian, perhiasan, dan lain sebagainya dari karakter kewanitaan. Dan menunjukkan larangan bagi wanita untuk menyerupai laki-laki, baik itu dengan cara mengkasarkan suaranya maupun dengan cara meniru gerakan dan pakaian mereka.
Musuh-musuh Islam telah berusaha menggunakan cara yang sangat buruk untuk merusak Islam dan menghancurkan akidah yang bersemayam dalam diri para pemeluknya dengan cara menyebarluaskan pakaian-pakaian wanita yang menyerupai pakaian laki-laki, misalnya celana, kemeja, jaket dan bahkan sepatu. Padahal mereka semua mengetahui bahwa Islam melarang wanita menyerupai laki-laki. Penyerupaan wanita seperti orang laki-laki merupakan awal dari cara perusakan agama Islam dalam diri wanita Muslimah.
Mengapa wanita dilarang melakukan itu ??
Karena mereka mempunyai kedudukan sebagai isteri, saudara dan sekaligus ibu rumah tangga.
Tidak diragukan lagi, sebagai seorang istri, wanita akan memberikan pengaruh terhadap suaminya, saudara dan putera-puterinya. Apabila wanita itu baik, maka akan memberikan pengaruh positif, dan apabila rusak maka akan memberikan pengaruh negatif. Wanita merupakan tiang umat, apabila dia baik maka seluruh umat akan baik dan sebaliknya apabila rusak maka akan rusak pula seluruh umat.
Sedangkan alasan penyerupaan itu, karena penyerupaan wanita seperti orang laki-laki merupakan tindakan yang keluar dari fitrahnya sebagai wanita yang telah diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla. Penyerupaan ini termasuk dosa besar, karena adanya laknat bagi pelakunya.
Yang paling selamat bagi setiap wanita Muslimah adalah memelihara fitrah yang telah diciptakan Allah Subhanahu wa Ta'ala baginya, tidak menyerupai laki-laki dalam segala hal, meski dalam hal memakai sandal sekalipun.
Dari Ibnu Abi Malikah, dia berkata : Dikatakan kepada Aisyah Radhiyallahu Anha, "Ada seorang wanita yang memakai sandal". Maka Aisyah berkata. "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat wanita yang menyerupai laki-laki". (Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud (4099) melalui Ibnu Juraij, dari Abu Abi Malikah)
* Larangan Menyerupai Laki-Laki

Larangan Bersalaman Dengan Laki-Laki Yang Bukan Muhrim

Amr bin Abdul Mun'im

Dari Ma'qil bin Yasar Radhiyallahu 'anhu, dia menceritakan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda.
    "Artinya : Andaikan ditusukkan ke kepala salah seorang diantara kalian dengan jarum besi, yang demikian itu lebih baik daripada dia harus menyentuh wanita yang tidak dibolehkan baginya". [Diriwayatkan oleh Imam Thabrani dalam Al-Kabir XX/211 dengan isnad hasan. Hadits ini mempunyai jalan lain yang saya sebutkan dalam ta'liq (komentar) saya terhadap buku Al-Mushafahah wa Fadhluha, yang ditulis oleh Al-Hafidzh Dhiya'uddin Al-Maqdisi]
Dari Umaimah binti Raqiqah, dia menceritakan.
"Aku pernah mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sedang menemui wanita-wanita yang berbai'at kepada beliau, wanita-wanita itu mengatakan. "Wahai Rasulullah, kami berbai'at kepadamu untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka (1) dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik". Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata. "Pada hal-hal yang kamu mampu". Maka wanita-wanita itupun berucap. "Allah dan Rasul-Nya lebih menyayangi kami daripada diri kami sendiri, mari kami akan berbai'at kepadamu, wahai Rasulullah. "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Sesungguhnya aku tidak menyalami wanita, karena ucapanku bagi seratus wanita sama seperti ucapanku bagi satu wanita, atau seperti ucapanku bagi satu wanita". (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwattha', hal. 982 dari Muhammad bin Al-Munkadir, dari Umaimah).
Kedua hadits di atas menunjukkan bahwasanya seorang wanita tidak boleh bersalaman dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, karena sentuhan merupakan langkah pendahuluan dari perzinaan. Hal itu dibenarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di mana beliau bersabda.
    "Artinya : Telah ditetapkan bagi anak cucu Adam bagian-bagiannya dari zina, yang dia pasti mengetahuinya. Zina kedua mata adalah berupa pandangan, zina kedua telinga berupa pendengaran, zina lisan berupa ucapan, zina kaki berupa langkah, sedangkan hati mengharap dan menginginkan, dan kemaluan yang membenarkan dan mendustainya".
Sedangkan suara-suara nyeleneh yang dikumandangkan oleh orang-orang yang senantiasa melakukan tipu daya terhadap Islam, yang mengungkapkan bahwa salaman antara laki-laki dan wanita merupakan simbol persahabatan yang tulus di antara keduanya. Suara-suara itu hanyalah omong kosong yang tidak berdasarkan pada Al-Qur'an maupun Al-Hadits. Tetapi sebaliknya, dalil-dalil yang ada bertentangan dengan apa yang mereka kumandangkan dan memperjelas kedustaan ucapan mereka
* Larangan Bersalaman Dengan Laki-Laki Yang Bukan Muhrim

Larangan Berkhulwah Dengan Laki-Laki Yang Bukan Muhrim

Amr bin Abdul Mun'im

Hal itu didasarkan pada hadits Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhu, di mana dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
    "Artinya : Tidak diperbolehkan bagi seorang laki-laki berkhulwah (menyendiri) dengan seorang wanita kecuali bersamanya (wanita) muhrimnya". (Hadist Riwayat Muttafaqun 'alaih)
Dan dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu 'anhu. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda.
    "Artinya : Janganlah kalian masuk ke tempat wanita. 'Lalu seseorang dari kaum Anshar berkata : "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu mengenai ipar?'. Beliau menjawab, "Ipar itu maut (menyendiri dengannya bagaikan bertemu dengan kematian)". (Hadits Riwayat Muttafaqun 'alaih)
Kedua hadits di atas secara jelas mengharamkan khulwah bagi seorang laki-laki dengan wanita yang bukan muhrimnya. Sengaja kami menyebutkannya dalam pembahasan buku ini karena banyak wanita yang menganggapnya remeh, di mana mereka seringkali mengizinkan laki-laki yang bukan muhrimnya menemuinya di rumah dan duduk bersama dengan alasan bahwa laki-laki itu adalah sahabat keluarga. Dengan alasan dan pengakuan tersebut mereka telah banyak merusak kehormatan dan menghancurkan rumah tangga.
Yang harus dilakukan oleh wanita Muslimah adalah tidak mengizinkan masuk seseorang ke rumah suaminya kecuali atas persetujuannya, dan dalam menemuinya harus senantiasa memperhatikan aturan-aturan syari'at, berhijab dan tidak berkhulwah. Oleh karena hendaklah dia tidak duduk bersama-sama dengan laki-laki yang bukan muhrimnya itu -meski sedang bersama suaminya- hanya sekedar untuk berbincang-bincang ringan. Duduk bersama-sama diperbolehkan hanya pada saat mendesak menurut syari'at, misalnya berobat atau menikah.
Sebagian wanita ada yang duduk-duduk bersama laki-laki yang bukan muhrimnya dengan alasan bahwa bersama-samanya ada anak-anak mereka yang masih kecil, baik laki-laki maupun wanita. Yang demikian ini sama sekali tidak benar karena keberadaan anak kecil dianggap tidak ada karena tidak menjadikan mereka tidak merasa malu. Demikian juga khulwah satu, dua atau lebih orang laki-laki dengan seorang wanita merupakan perbuatan yang diharamkan.
Ath-Thabrany mentakhrij sebuah hadits.
    "Artinya Janganlah kamu sekalian berkhalwat dengan wanita. Demi diriku yang ada dalam kekuasaan-Nya, tidaklah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita melainkan syetan akan masuk di antara keduanya. Lebih baik seorang laki-laki berdekatan dengan babi yang berlumuran tanah liat atau lumpur daripada dia mendekatkan bahunya ke bahu wanita yang tidak halal baginya".
Terkadang seorang laki-laki menemui seorang wanita yang tertinggal dalam perjalanan bersama rombongan, maka dia (laki-laki) dibolehkan untuk menemaninya dengan syarat dia berjalan di depan wanita tersebut, seperti yang terjadi pada diri Aisyah Radhiyallahu anha ketika tertinggal dari rombongan tentara pada saat terjadi haditsul ifki (berita bohong).
* Larangan Berkhulwah Dengan Laki-Laki Yang Bukan Muhrim

Larangan Membuat Tato, Mencukur Alis Dan Merenggangkan Gigi

Amr bin Abdul Mun'im

Yang dimaksud membuat tato adalah menusuk-nusukkan jarum atau sebangsanya di punggung telapak tangan, lengan atau bibir atau tempat-tempat lainnya pada tubuh wanita yang tidak mengeluarkan darah, kemudian memberikan celak atau kapur pada bekas tusukan tersebut sehingga kulitnya berubah menjadi warna hijau.
Wanita yang menjadi tukang membuat tato itu disebut sebagai Wasyimah, sedangkan wanita yang dibuatkan tato disebut Mausyumah, dan yang meminta dibuatkan tato disebut Mustausyimah. (Syarhu Shahihi Muslim, Nawawi IV/836)
Yang dimaksud dengan perenggangan gigi di sini adalah merenggangkan atau menggeser gigi taring dan empat gigi seri. (Gaharibu Al-Hadits, Khutabi 1/598). Hal ini sering dilakukan oleh wanita-wanita yang sudah tua dengan tujuan agar terlihat lebih muda. Sebenarnya kerenggangan antara gigi seri ini terjadi pada anak-anak kecil. Setiap kali bertambah usia seorang wanita khawatir sehingga dia merapikan giginya dengan alat perapi gigi supaya terlihat lembut dan baik serta tampak lebih muda. (Syarhu Shahihi Muslim, Nawawi IV/837)
Ketiga hal tersebut di atas merupakan perbuatan yang dilarang agama, dan pelakunya dilaknat, karena hal itu termasuk perbuatan merubah apa yang telah diciptakan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhu :
"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan wanita yang minta disambungkan rambutnya, wanita yang mentato (kulitnya) dan wanita yang meminta dibuatkan tato". (Hadits Riwayat Muttafaqun 'alaih).
Sedangkan dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, dia berkata :
"Allah melaknat wanita yang mencukur alisnya dan wanita yang minta dicukurkan alisnya, wanita yang minta direnggangkan giginya untuk mempercantik diri, yang mereka semua merubah ciptaan Allah". Abdullah bin Mas'ud melanjutkan, maka hal itu terdengar oleh wanita dari Bani Asad bernama Ummu Ya'qub. Setelah membaca Al-Qur'an, dia mendatangi Abdullah bin Mas'ud dan berkata : "Aku mendengar engkau melaknat wanita yang menyambung rambut dan wanita yang meminta disambungkan rambutnya, wanita yang mencukur alisnya dan wanita yang meminta direnggangkan giginya yang semuanya itu merubah ciptaan Allah ?" Abdullah bin Mas'ud menjawab, "Bagaimana aku tidak melaknat orang-orang yang dilaknat oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan semuanya itu telah diterangkan di dalam Al-Qur'an". Wanita itu berkata : "Aku telah membaca semua isi Al-Qur'an tetapi tidak mendapatkannya". Lalu Abdullah bin Mas'ud berkata. "Kalau engkau membacanya, pasti engkau akan mendapatkannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : "Apa yang diperintahkan Rasul kepada kalian maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah". Wanita itupun berkata : "Sesungguhnya aku melihat hal itu pada istrimu sekarang ini". Abdullah bin Mas'ud pun bertutur : "Temui dan lihatlah dia". Selanjutnya Abdullah bin Mas'ud menceritakannya. "Maka wanita itu pun menemui istri Abdullah bin Mas'ud tetapi dia tidak mendapatkan sesuatu apapun. Kemudian dia pergi menemui Abdullah dan berkata : "Aku tidak melihat sesuatu". Maka Abdullah pun berkata : "Seandainya ada sesuatu padanya niscaya kami tidak akan menggaulinya". (Hadits Riwayat Muattafaqun alaihi)
Dan dari Abu Jahifah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata :
"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang uang hasil penjualan darah dan penjualan anjing serta upah pelacuran. Dan beliau juga melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan wanita yang meminta disambungkan rambutnya, orang yang memakan riba dan orang yang menjadi mitranya serta orang yang menggambar". (Hadits Riwayat Bukhari).
Imam Nawawi Rahimahullah berkata :
"Menurut hadits tersebut semuanya itu merupakan perbuatan haram, karena hal itu jelas merubah ciptaan Allah, selain juga sebagai kebohongan sekaligus sebagai tipu daya".
Mengenai hal ini penulis katakan, adanya laknat bagi pelakunya menunjukkan bahwa perbuatan itu merupakan dosa besar. Oleh karena itu, hal itu telah dikategorikan oleh Al-Hafidzh Al-Zahabi termasuk dalam enam puluh dosa besar.
Banyak wanita yang meminta nikah dengan melakukan hal itu terhadap dirinya sendiri, sehingga mereka mengira terlihat lebih muda atau cantik. Yang lebih aneh lagi, beberapa dari para ibu melakukan hal tersebut terhadap puteri-puteri mereka yang masih kecil. Dalam hal itu sang ibu yang berdosa sedangkan sang anak tidak berdosa.
Salah seorang di antara mereka ada yang menanyakan mengenai wanita yang tumbuh jenggot atau kumis karena banyaknya hormon laki-laki pada diri mereka, lalu apakah mereka boleh mencukurnya ?
Mengenai pertanyaan seperti itu dijawab boleh, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membebani seseorang diluar kemampuannya, melainkan sesuai dengan kemampuannya. Selain itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang wanita bertasyabuh (menyerupai) dengan laki-laki, sedangkan membiarkan jenggot dan kumis tumbuh panjang merupakan tindakan menyerupai laki-laki. Tasyabuh seperti itu tidak dapat dihilangkan melainkan dengan mencukur jenggot dan kumis tersebut.
Imam Nawawi Rahimahullahu (Syarhu Shahihi Muslim IV/837) :
"Tindakan seperti itu jelas haram kecuali apabila pada diri seorang wanita tumbuh jenggot atau kumis, maka dia tidak dilarang untuk mencukurnya, bahkan hal itu dianjurkan bagi kita".
Selanjutnya dia mengatakan :
"Larangan itu hanya diperuntukkan pada rambut-rambut yang tumbuh di beberapa bagian wajah".

Dalam hal ini penulis katakan : Oleh karena itu, pencukuran jenggot dan kumis bagi seorang wanita bukan merupakan tindakan merubah ciptaan Allah, karena dasar penciptaan wanita adalah tanpa jenggot maupun kumis. Bahkan sebagian ulama mengharamkan laki-laki memotong jenggotnya karena hal itu termasuk tasyabbuh dengan wanita, dan itu jelas-jelas dilarang.
Demikian halnya perbaikan gigi karena untuk berobat atau untuk menghilangkan aib dan semisalnya merupakan suatu tindakan yang tidak dilarang. Imam Nawawi mengatakan :
"Dalam hadits di atas terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa yang dilarang (haram) adalah orang yang meminta direnggangkan giginya dengan tujuan untuk mempercantik diri. Sedangkan apabila bertujuan untuk memperbaiki atau menghilangkan aib pada susunan gigi maka hal itu tidak dilarang". (Syahru Shahihi Muslim IV/837)
* Larangan Membuat Tato, Mencukur Alis Dan Merenggangkan Gigi

Keringanan Mewarnai Kuku Bagi Wanita Haid

Amr bin Abdul Mun'im

Pacar (mewarnai kuku dengan daun inay) merupakan salah satu bentuk perhiasan yang dapat menambah kecantikan wanita. Banyak wanita yang memakai pacar pada kukunya dengan daun inay (pacar), karena hal itu dapat menarik kecintaan suami.
Wanita yang sedang haid diberikan keringanan untuk memakai pacar, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits berikut ini :
"Dari Mu'adzah : Ada seorang wanita bertanya kepada Aisyah radhiyallahu 'anha : "Apakah wanita yang sedang haid boleh memakai pacar?"
Aisyah menjawab : Pada saat sedang di sisi nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kami memakai pacar pada kuku, dan beliau tidak melarang kami melakukan hal itu"
. (Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah (656) dengan sanad shahih)
Dari Nafi' Maula bin Umar, dia menceritakan :
"Bahwa istri-istri Ibnu Umar semuanya memakai pacar pada kuku mereka pada saat sedang haid". (Diriwayatkan oleh Imam Al-Darimi (1094) dengan sanad shahih)
Mengenai hal ini penulis katakan, apabila pemakaian pacar itu terlalu tebal sehingga air wudhu' tidak dapat menyentuh kulit pada saat sedang dalam keadaan suci, ketika itu seorang wanita harus menghapus dan menghilangkannya. Demikian itulah keringanan yang diberikan kepada seorang wanita yang sedang haid karena pada saat itu dia tidak berwudlu'.
Disamping pacar itu dari inay, seorang wanita juga diperbolehkan mengecat kukunya (kutek) pada saat sedang haid, karena dia tidak harus berwudlu' dan mengerjakan sholat. Tetapi pada saat dalam keadaan suci, dia harus menghilangkannya.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, dia menceritakan :
"Istri-istri kami memakai pacar pada malam hari, apabila pagi tiba mereka melepasnya, kemudian berwudlu dan mengerjakan shalat. Setelah shalat mereka memakai pacar lagi dan apabila tiba waktu dzuhur mereka melepasnya, lalu berwudlu' dan mengerjakan shalat . Hal itu dilakukannya dengan sebaik-baiknya dan tidak menghalangi mereka dari shalat". (Diriwayatkan oleh Imam Al-Darimi (1093) dengan sanad shahih)
Tetapi ada dua hal yang diperhatikan :
Pertama : Pemakaian pacar -termasuk juga kutek- merupan salah satu perhiasan yang tidak boleh diperlihatkan kepada laki-laki yang bukan muhrim. Oleh karena itu, wanita yang memakainya harus menyembunyikan dari pandangan laki-laki yang bukan muhrim.
Kedua : Pengecatan kuku (kutek) adalah salah satu kebiasaan orang barat yang dilancarkan ke tengah-tengah masyarakat kita. Dan melakukannya merupakan tindakan menyerupai wanita-wanita kafir tersebut, dan inilah yang dilarang.
Disalin dari buku 30 Keringanan Bagi Wanita, oleh Amr Bin Abdul Mun'in terbitan Pustaka Azzam - Jakarta.
* Keringanan Mewarnai Kuku Bagi Wanita Haid

Keringanan Berdzikir Kepada Allah Bagi Wanita Haid

Amr bin Abdul Mun'im

Zikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala merupakan suatu kewajiban bagi setiap Muslim dan Muslimah.
Sebagaimana yang difirmankan Allah Azza wa Jalla.
"Artinya : Karena itu, berdzikirlah (ingat) kalian kepada-Ku niscaya Aku akan ingat kepada kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku". (Al-Baqarah : 152)
"Artinya : Dan sesungguhnya berdzikir (mengingat) Allah adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain)". (Al-Ankabut : 45)
Dalam mengisahkan Yunus 'Alaihi al-Salam, Dia berfirman.
"Artinya : Maka kalau sekiranya dia (Yunus) tidak termasuk orang-orang yang banyak berdzikir kepada Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di dalam perut ikan itu sampai hari berbangkit". (Al-Shaffat : 143-144)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Rabbnya dengan orang yang tidak berdzikir adalah seperti orang hidup dan orang mati". (Diriwayatkan oleh Muttafaqun 'alaih dari hadits Abu Musa Al-Asy'ari Radhiyallahu 'anhu).
Diantara bentuk kemurahan Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap kaum wanita adalah memberikan keringanan kepada kaum wanita untuk berdzikir kepada-Nya selama menjalani masa haid, meski pada saat itu mereka tidak boleh mengerjakan shalat dan puasa.
Ummu Athiyah Radhiyallahu 'anha menceritakan.
"Artinya : Kami diperintahkan keluar pada hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, juga wanita pingitan dan gadis".
'Wanita-wanita haid keluar rumah dan menempati posisi di belakang jama'ah yang mengerjakan shalat, dan bertakbir bersama-sama mereka', Lanjut Ummu Athiyyah". (Hadits Riwayat Muttafaqun 'alaih).
Imam Nawawi Rahimahullah juga mengatakan.
"Ucapan Ummu Athiyyah, 'Wanita-wanita haid itu bertakbir bersama jama'ah' menunjukkan dibolehkannya zikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala bagi wanita haid dan wanita sedang junub. Yang diharamkan baginya adalah membaca Al-Qur'an".
Disalin dari buku 30 Keringanan Bagi Wanita, oleh Amr Bin Abdul Mun'in terbitan Pustaka Azzam - Jakarta.
* Keringanan Berdzikir Kepada Allah Bagi Wanita Haid

Hukum Wudhunya Orang Yang Menggunakan Kutek

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah hukum wudhunya orang yang menggunakan kutek pada kuku-kukunya ?
Jawaban.
Sesungguhnya kutek itu tidak boleh dipergunakan wanita jika ia hendak shalat, karena kutek tersebut akan menghalangi mengalirnya air dalam bersuci (pada bagian kuku yang tertutup oleh kutek itu), dan segala sesuatu yang menghalangi mengalirnya air (pada bagian tubuh yang harus disucikan dalam berwudhu) tidak boleh dipergunakan oleh orang yang hendak berwudhu atau mandi, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
    "Artinya : Maka basuhlah mukamu dan tanganmu". (Al-Maidah : 6)
Jika wanita ini menggunakan kutek pada kukunya, maka hal itu akan menghalangi mengalirnya air hingga tidak bisa dipastikan bahwa ia telah mencuci tangannya, dengan demikian ia telah meninggalkan satu kewajiban di antara beberapa yang wajib dalam berwudhu atau mandi.
Adapun bagi wanita yang tidak shalat, seperti wanita yang mendapat haidh, maka tidak ada dosa baginya jika ia menggunakan kutek tersebut, akan tetapi perlu diketahui bahwa kebiasaaan-kebiasaan tersebut adalah kebiasaan wanita-wanita kafir, dan menggunakan kutek tersebut tidak dibolehkan karena terdapat unsur menyerupai mereka.
(Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/148. Di susun oleh Fahd As-Sulaiman)
Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal. 6-7 penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin.
* Hukum Wudhunya Orang Yang Menggunakan Kutek

Rabu, 10 November 2010

Mengais Keajaiban Cinta

Jika Anda memiliki anak pertama yang berumur 2.5 tahun, lahir setelah 17 tahun menikah, setelah Anda sembuh dari kemandulan. Anak Anda tersebut mengalami:
  • bermasalah dalam pembuluh darah di liver,
  • jantung berhenti berdetak selama 45 menit,
  • pendarahan hebat yang membuat jantungnya berhenti berdetak untuk yang kedua kali
  • pendarahan di liver, sembuh, pendarahan lagi berulang-ulang sampai 6 kali,
  • tumor dan radang otak,
  • radang ginjal,
  • radang pada selaput kristal yang mengitari jantung,
penyakit tersebut hadir silih berganti, terus menerus dalam waktu 6-8 bulan…, Apa yang Anda lakukan?
Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al ‘Arifi dalam bukunya ‘Jangan Takut Sakit’ (hal 111-117, penerbit Fawaid, -dengan sedikit penyesuaian) menuturkan sebuah kisah:

Dr. Abdullah bercerita,
“Ada seorang perempuan yang datang kepada saya dengan menyeret langkah-langkah kakinya, ia menggendong anaknya yang tersiksa oleh penyakit.
Ia adalah seorang ibu yang berusia mendekati empat puluh tahun. Ia memeluk anaknya yang masih kecil ke dadanya, seakan-akan anak tersebut adalah potongan tubuhnya. Kondisi anak itu memprihatinkan, terdengar satu dua tarikan nafas dari dadanya.
Saya bertanya kepada si ibu, ‘Berapa umurnya?’
Ia menjawab, ‘Dua setengah tahun.’
Kami melakukan pemeriksaan kepada anak itu, ternyata anak itu bermasalah dalam pembuluh-pembuluh darah di livernya.
Kami segera melakukan tindakan operasi kepadanya, dan dua hari setelah operasi, anak itu sudah sehat. Sang ibu pun tampak gembira dan riang.
Ketika melihat saya, ia bertanya, ‘Kapan anak saya boleh pulang dok?’
Tatkala saya hampir menulis surat keterangan pulang, tiba-tiba anak kecil itu mengalami pendarahan hebat di tenggorokannya, sehingga menyebabnya jantungnya berhenti berdetak selama 45 menit.
Kesadaran anak tersebut sudah hilang. Lalu para dokter berkumpul di dalam ruangannya. Beberapa jam telah berlalu, namun mereka tidak sanggup membuatnya tersadar.
Salah seorang teman saya segera mendatangi ibunya dan berkata kepadanya, ‘Kemungkinan anak Anda mengalami kematian otak (koma) dan saya mengira bahwa ia tidak memiliki harapan untuk hidup.’ Saya menoleh kepada teman saya tersebut sambil mencelanya karena ucapannya tersebut.
Lalu saya melihat kepada si ibu, demi Allah, perkataan teman saya itu tidak menambah selain ia mengucapkan, ‘Penyembuh adalah Allah, Pemberi kesehatan adalah Allah.’
Kemudian ia terus menerus membaca, ‘Saya memohon kepada Allah jika ada kebaikan pada kesembuhannya, maka sembuhkanlah ia.’
Setelah itu ia diam dan berjalan menuju sebuah kursi kecil, lalu duduk. Kemudian ia mengambil mushaf kecilnya yang berwarna hijau dan membacanya.
Para dokter pun keluar, saya juga keluar bersama mereka. Saya berjalan melewati anak itu, kondisinya belum berubah, sesosok tubuh yang terbujur kaku laksana mayat di atas tempat tidur putih. Lalu saya menoleh kepada ibunya, keadaannya juga masih tetap seperti sebelumnya.
Satu hari ia membacakan Al-Qur’an kepada anaknya; satu hari membacanya dan satu hari setelannya mendoakannya. Beberapa hari kemudian, salah seorang perawat perempuan memberitahu saya bahwa anak itu sudah mulai bergerak, saya langsung memuji Allah.
Saya berkata kepada si ibu, ‘Wahai Ummu Yasir, saya sampaikan kabar gembira kepada Anda bahwa keadaan Yasir mulai membaik.’
Ia hanya mengucapkan satu ucapan sambil menahan air matanya, ‘Alhamdulillah, Alhamdulillah.’
Dua puluh empat jam kemudian kami dikejutkan dengan kondisi si anak, ia kembali mengalami pendarahan hebat seperti pendarahan sebelumnya, dan jantungnya berhenti berdetak untuk kedua kalinya.
Tubuhnya yang kecil kelihatan lelah, gerakannya telah hilang. Salah seorang dokter masuk untuk melihat kondisinya secara langsung, lalu saya mendengarnya berucap, ‘Mati otak.’
Sang ibu terus menerus mengulang-ulang, ‘Alhamdulillah, atas setiap keadaan, penyembuh adalah Allah.’ Beberapa hari kemudian, anak itu sembuh kembali. Namun, baru berlalu beberapa jam, ia kembali mengalami pendarahan di dalam livernya, lalu gerakannya berhenti.
Beberapa hari kemudian ia sadar lagi, lalu kembali mengalami pendarahan baru, kondisinya aneh, saya tidak pernah melihat kondisi seperti itu selama hidup saya, pendarahannya berulang-ulang hingga enam kali, sedangkan dari lisan ibunya hanya keluar ucapan, ‘Segala puji bagi Allah, Penyembuh adalah Rabb-ku, Dia-lah Penyembuh.’
Setelah beberapa kali pemeriksaan dan pengobatan, para dokter spesialis batang tenggorokan berhasil mengatasi pendarahan, Yasir mulai bergerak-gerak lagi. Tiba-tiba, Yasir kembali diuji dengan bisul besar (tumor) dan radang otak.
Saya sendiri yang memeriksa keadaannya. Saya berkata kepada ibunya, .’Keadaan anak Anda mengenaskan sekali dan kondisinya berbahaya.’ la tetap mengulang-ulang ucapannya, ‘Penyembuh adalah Allah’
la mulai membacakan Al-Qur’an kepada buah hatinya. Setelah dua minggu, tumor itu tetap ada. Dua hari kemudian, anak tersebut mulai sembuh, kami memuji Allah karenanya.
Sang ibu bersiap-siap untuk pulang, namun satu hari kemudian, tiba-tiba anak tersebut mengalami radang ginjal parah yang dapat menyebabkan gagal ginjal kronis dan hampir menyebakan kematiannya.
Sementara si ibu tetap berpegang teguh, bertawakal dan berserah kepada Rabb-nya serta terus mengulang-ulang, ‘Penyembuh adalah Allah.’ Lalu, ia kembali ke tempatnya dan membacakan Al-Qur’an kepada anaknya.
Hari-hari berlalu, sedangkan kami terus berusaha memeriksa dan mengobati secara maraton hingga berlangsung sampai tiga bulan, kondisinya pun membaik, segala puji hanya bagi Allah.
Akan tetapi, kisah ini belum berhenti sampai di sini saja, si anak kembali diserang penyakit aneh yang belum pernah saya kenal selama hidup.
Setelah empat bulan, ia terserang radang pada selaput kristal yang mengitari jantung, sehingga memaksa kita untuk membuka sangkar dadanya dan membiarkannya terbuka untuk mengeluarkan nanah.
Ibunya hanya melihat kepadanya sambil berucap, ‘Saya memohon kepada Allah agar menyembuhkannya, Dia adalah penyembuh dan pemberi kesehatan.’ Lalu, ia kembali ke kursinya dan membuka mushafnya.
Terkadang saya melihat kepada ibu tersebut, sementara mushaf ada di depannya, ia tidak menoleh ke sekelilingnya. Kemudian saya masuk ke ruang refreshing, maka saya melihat banyak pasien dengan berbagai penyakit dan para penunggu mereka.
Saya melihat sebagian dari para pasien tersebut berteriak-teriak dan yang lainya mengaduh-aduh, sedangkan para penunggunya menangis, dan sebagian dari mereka berjalan di belakang para dokter.
Sementara ibu itu tetap berada di atas kursinya dan di depan mushafnya, tidak berpaling kepada orang yang berteriak dan tidak berdiri menghampiri dokter serta tidak berbicara dengan seorang pun.
Saya merasa bahwa ia adalah gunung, setelah berada selama enam bulan di ruang refreshing. Saya berjalan melewati anaknya, saya melihat matanya terpejam, tidak berbicara dan tidak bergerak, dadanya terbuka.
Kami mengira bahwa ini merupakan akhir kehidupannya, sedangkan sang ibu tetap dalam keadaannya, membaca Al-Qur’an. Seorang penyabar yang tidak mengeluh dan tidak mengaduh.
Demi Allah, ia tidak mengajak saya bicara dengan sepatah katapun dan tidak pula bertanya kepada saya tentang kondisi anaknya. Ia hanya berbicara setelah saya mulai mengajaknya bicara tentang anaknya tersebut.
Adapun usia suaminya sudah lebih dari empat puluh tahun. Terkadang suaminya menemui saya di dekat anaknya, ketika ia menoleh kepada saya untuk bertanya, istrinya menarik tangannya dan menenangkannya serta mengangkat spiritnya dan mengingatkannya bahwa sang Penyembuh adalah Allah.
Setelah berlalu dua bulan, keadaan anak tersebut sudah membaik, lalu kami memindahkannya ke ruangan khusus anak-anak di rumah sakit, kondisinya sudah mengalami banyak kemajuan.
Keluarganya pun mulai membiasakan kepadanya berbagai jenis terapi dan pelatihan. Setelah itu, anak tersebut pulang ke rumahnya dengan berjalan kaki, ia melihat dan berbicara seakan-akan ia tidak pernah tertimpa sesuatu sebelumnya.
Maaf, kisah menakjubkan ini belum selesai, karena satu setengah tahun kemudian, ketika berada di ruang kerja saya, tiba-tiba suami wanita itu masuk menemui saya, sedangkan di belakangnya istrinya menyusulnya sambil menggendong bayi kecil yang sehat.
Ternyata si anak kecil itu sedang diperiksakan secara rutin di RS tersebut, mereka datang kepada saya untuk menyampaikan salam.
Saya bertanya kepada si suami, ‘Masya Allah, apakah bayi kecil ini adalah anak yang keenam atau ketujuh di dalam keluarga Anda?’ Ia menjawab, ‘Ini yang kedua, dan anak pertama kami adalah anak yang Anda obati setahun yang lalu. Ia merupakan anak pertama kami yang lahir setelah tujuh belas tahun kami menikah dan sembuh dari kemandulan.’
Saya menundukkan kepala, dan langsung teringat dengan gambaran ibunya ketika sedang menunggui anaknya. Saya tidak mendengar suara yang keluar darinya dan tidak melihat tanda kegelisahan pada dirinya.
Saya mengucap di dalam hati, ‘Subhanallah.’ Setelah tujuh belas tahun bersabar dan mencoba berbagai terapi kemandulan, lalu diberi rezeki dengan seorang anak laki-laki yang dilihatnya mati berkali-kali di hadapannya.
Akan tetapi, wanita tersebut hanya berpegang teguh pada kalimat ‘Laailaaha illallaah’ dan keyakinan bahwa Allah adalah Dzat Penyembuh dan Pemberi kesehatan. Subhanallah! Betapa besar tawakkal dan keimanan yang dimiliki wanita itu.”

Kisah di atas, meski bukan kisah para ulama, namun merupakan kisah nyata yang terjadi pada zaman kita.
Dimana posisi kita dibandingkan ibu dalam kisah tersebut?
Ya Allah, berilah kami kemudahan untuk bersabar, tawakkal, dan benar-benar berserah diri kepada-Mu, dalam setiap waktu, setiap keadaan, dan setiap tempat. Amiin.
* Mengais Keajaiban Cinta

Indahnya Rumah Tangga di Bawah Naungan Manhaj Nubuwwah

63
Oleh Ust. Abu Ahmad bin Syamsyuddin
Rumah Tangga Sebuah Amanah
Kewajiban paling utama, tanggung jawab paling besar, dan amanah paling berat adalah pendidikan terhadap keluarga dan bimbingan untuk rumah tangga, berawal dari diri sendiri kemudian istri, anak-anak , dan kerabatnya. Inilah yang dimaksud firman Alloh:
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارً۬ا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡہَا مَلَـٰٓٮِٕكَةٌ غِلَاظٌ۬ شِدَادٌ۬ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ (٦)
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api naar yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. 66:6)
Pendidikan keluarga bukan sekedar kegiatan sambilan, pemikiran sedeharna, atau upaya ala kadarnya. Namun pendidikan keluarga merupakan kebutuhan asasi dan masalah yang sangat urgen serta memiliki konsekuensi jauh ke depan dalam menentukan masa depan rumah tangga. Seorang muslim harus bertanggung jawab atas segala kekurangan dan kesesatan yang terjadi di tengah keluarganya. Dari Ibnu Umar Rodhiyalloohu ‘Anhuma berkata: aku mendengar Rosulullooh Shololloohu ‘alaihi wassallam bersabda:
Kamu sekalian adalah pemimpin, dan akan diminta tanggung jawab atas kepimpinannya, seorang imam adalah pemimpin, dan akan diminta tanggung jawab atas kepemimpinannya dan seorang laki-laki adalah pemimpin dan akan diminta tanggung jawab atas atas kepemimpinannya, dan wanita adalah penanggung jawab terhadap rumah suaminya dan akan diminta tanggung jawabnya, serta pembantu penanggung jawab atas harta benda majikannya dan akan diminta tanggung jawabnya. (Shohih, diriwayatkan oleh Bukhori dalam Shohih-nya: 893, 2409, 2554, 2558, 2571, 5188, dan 7138. Muslim dalam Shohih-nya: 4701, dan Tirmidzi dalam Sunan-nya: 1705)
Keluarga yang baik merupakan nikmat yang paling agung dan karunia yang palingberharga dan tidak ada yang mampu menghargai dan mengenali nilainya kecuali orang yang telah memiliki keluarga hancur dan rumah tangga berantakan sehingga kehidupan laksana terkurung oleh hawa neraka, dan hari-harinya hampir diwarnai perih dan pilu karena keluarga berantakan.
Bekal Membina Rumah Tangga
Ketahuilah bahwa berbagai macam problem kehidupan dalam rumah tangga sering timbul akibat kebodohan terutama terhadap ilmu agama. Dan sebagai obatnya adalah belajar, sebagaimana sabda Nabi Shololloohu ‘alaihi wassallam kepada para sahabat Rodhiyalloohu ‘Anhuma:
“Mengapa mereka tidak bertanya jika tidah tahu? Sesungguhnya obat kebodohan adalah bertanya”. (Hasan, diriwayatkan Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya: 337 dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya:572. Dan dihasankan syaikh al-Albani dalam Shohih Sunan Abu Dawud: 337)
Kedunguan hati dari ilmu dan kebisuan lisan dari berbicara dinyatakan sebagai penyakit. Dan obatnya adalah bertanya kepada ulama, sehingga meraih ilmu yang bermanfaat, sebab ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang terpancar dari lentera Al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman  para sahabat dan tabi’in , termasuk perkara yang terkait dengan ma’rifat kepada Alloh, hukum halal-haram, zuhud, kebersihan hati dan akhlaq mulia, serta mengatur kehidupan rumah tangga.
Ilmu yang bermanfaat berfungsi sebagai pemusnah secara tuntas dua penyakit rohani yang paling berbahaya dan menjadi biang penyakit hati yaitu syubhat dan syahwat. Maka sebagai seorang pendidik, sebelum membina keluarganya, harus membekali dirinya dengan ilmu agama yang cukup. Sehingga dengan bekal ilmu agama yang bermanfaat, semua urusan rumah tangga menjadi mudah dan berdakwah di tengah keluarga menjadi lancar. Apalagi bila ilmu telah meresap ke dalam hati maka akan melenyapkan penyakit syubhat dan syahwat, mencabut kedua penyakit itu sampai ke akar-akarnya. Ibaratnya orang yang sedang minum obat, segala macam kuman akan hancur dan musnah, sementara obat yang paling manjur adalah obat yang cepat meresap ke dalam tubuh dan tidak membuat kuman kebal, tetapi untuk memusnahkan.
Akhlaq Seorang Pendidik
Seorang pembina rumah tangga harus berilmu, berperangai lemah lembut, bersabar dalam mendidik, sehingga akan memberikan kesan yang baik pada keluarga, seperti firman Alloh Subhannahu Ta’ala:
فَبِمَا رَحۡمَةٍ۬ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡ‌ۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَ‌ۖ فَٱعۡفُ عَنۡہُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِى ٱلۡأَمۡرِ‌ۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ (١٥٩)
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. (QS. Ali Imran [3]: 159)
Syaikhul islam Ibnu taimiyah Rohimahulloh berkata:
“Hendaknya tidak menyeru kebaikan dan melarang kemungkaran kecuali setelah memiliki tiga bekal: berilmu sebelum menyeru kebaikan dan melarang kemungkaran, berperangai lemah lembut ketika menyeru kebaikan dan melarang kemungkaran, serta bersabar setelah menyeru kebaikan dan melarang kemungkaran.” (al-Amr bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar, Ibnu Taimiyah, hal. 57)
Hendaknya seorang pendidik paling terdepan dalam memberi contoh karena sangat berat ancaman orang yang tidak konsekuen terhadap ajakannya, sebagaimana sabda Nabi Shololloohu ‘alaihi wassallam:
Nanti pada hari kiamat ada seseorang didatangkan lalu dilemparkan ke dalam neraka, maka ususnya keluar. Lalu ia berputar-putar di sekitar penggilingan. Kemudian penghuni neraka mengerumuninya dan bertanya, ‘Hai Fulan, ada apa denganmu? Bukankah kamu yang menyeru kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran?’ Ia menjawab, ‘Ya, aku telah menyeru kepada kebaikan tetapi aku sendiri tidak mengerjakannya dan aku melarang orang dari kemungkaran tetapi aku sendiri mengerjakannya.” (Shohih, diriwayatkan Imam Bukhori dalam Shohih-nya: 3267, 7098. Dan Imam Muslim dalam shohih-nya: 7408)
Hadits shohih di atas memberi petunjuk bahwa orang yang mengetahui kebaikan dan kemungakaran lalu melanggarnya lebih berat siksaannya daripada orang yang tidak mengetahuinya karena ia seperti orang yang menghina larangan Alloh dan meremehkan syari’at-Nya, sehingga ia termasuk ahli ilmu yang tidak bermanfaat ilmunya.
Wahai saudaraku, para suami…
Wahai sang suami, sungguh engkaulah pemegang kendali rumah tangga, ikatan pernikahan dan perjanjian yang berat, karena Alloh berfirman:
….. وَّاَخَذۡنَ مِنۡكُمۡ مِّيۡثَاقًا غَلِيۡظًا
Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS. 4:21)
Anda telah memikul tanggung jawab, memegang amanat dan beban rumah tangga. Hubungan penikahan merupakan kemuliaan bagi laki-laki dan perempuan, maka secara fitroh dan naluri masing-masing memiliki tugas hidup agar kehidupan rumah tangga berjalan normal dan lurus seperti firman Alloh:
ٱلرِّجَالُ قَوَّٲمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍ۬ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٲلِهِمۡ‌ۚ فَٱلصَّـٰلِحَـٰتُ قَـٰنِتَـٰتٌ حَـٰفِظَـٰتٌ۬ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ‌ۚ وَٱلَّـٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِى ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّ‌ۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَڪُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡہِنَّ سَبِيلاً‌ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّ۬ا ڪَبِيرً۬ا (٣٤)
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka [laki-laki] atas sebahagian yang lain [wanita], dan karena mereka [laki-laki] telah menafkahkan sebagian dari harta  mereka. (QS. An-Nisa’ [4]: 34)
Upayakanlah kendali rumah tangga, terutama isterimu, tetap berada di tanganmu. Jangan bersikap lemah dan tidak berwibawa serta tidak berdaya di hadapan tuntutan dan tekanan isterimu, akhirnya ia menghinamu, memperbudakmu, dan merendahkanmu sehingga kehidupan rumah tanggamu berantakan bagaikan neraka. Begitu pula, jangan engkau menghinanya dan menzholiminya, serta menganggapnya seperti barang tak berguna, sebab sikap semena-mena terhadap orang yang lemah seperti isterimu menunjukkan kerdilnya sebuah kepribadian. Terimalah kebaikan yang telah diberikan kepadamu dengan senang hati dan bersabarlah atas berbagai kekurangannya, serta jangan mengangan-angankan kesempurnaan darinya karena dia diciptakan oleh Alloh dari tulang rusuk yang bengkok sebagaimana sabda Rosululloh Shololloohu ‘alaihi wassallam:
((إِنَّ الْمَرْأَةََ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ, لَنْ تَسْتَقِيْمَ لَكَ عَلَى طَرِيْقَةٍ, فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اِسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيْهَا عِوَجٌ, وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهَا كَسَرْتَهَا وَكَسْرُهَا طَلاَقُهَا))
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk, ia tidak bisa lurus bersamamu di atas satu jalan. Jika kamu menikmatinya maka kamu menikmatinya dalam kondisi bengkok, namun bila anda ingin  meluruskannya, maka boleh jadi patah dan patahnya adalah talak.” (Shohih, diriwayatkan Imam Muslim dalam Shohih-nya: 3631)
Wahai saudaraku, para isteri…
Setiap kesalahan yang dilakukan seorang isteri, perasaan mengikuti hawa nafsu, sikap terlalu cemburu, atau was-was hanya merupakan bisikan setan dan bersumber dari lemahnya iman kepada Alloh, sehingga rumah tangga berubah meikan bagnjadi berantakan laksana neraka dan rumah tangga menjadi porak-poranda bagaikan bangunan disambar halilintar; akibatnya, semua pihak menyesali pernikahan tersebut. Atau boleh jadi karena kesalahan isteri menjadi penyebab talak (perceraian), kemudian jiwa menjadi goncang dan ditimpa kegelisahan yang sangat berat.
Betapa indahnya bila anda meluruskan hati, ahlak, dan tabiat ketika bergaul dengan suami dan kerabat suami anda. Betapa eloknya bila anda selalu menggunakan akal sehat dan kesabaran dalam setiap menghadapi urusan rumah tangga. Betapa mulianya ketika seorang isteri mampu menjadi pendamping setia bagi suami, dan betapa agung kedudukannya di hati sang suami bahkan ia mampu memikat perasaan suami ketika sang isteri berkata: “Aku mendengar dan mentaati”.
Semoga saudariku muslimah mendapa taufiq dan hidayah dengan etika Islam, mau menyempurnakan akal pikiran dengan ilmu dan ma’rifah, dan menyembuhkan hatinya dengan keimanan kepada Alloh, sehingga kehidupan penuh dengan suasana bahagia dan hidup bersama sang suami penuh dengan ketenangan dan ketentraman serta kegembiraan.
Wahai para isteri, tunaikanlah kewajibanmu terhadap suamimu, niscaya engkau akan mendapat kasih sayang dan cintanya!.
Kewajiban Seorang Suami
Kewajiban sebagai seorang suami banyak sekali namun yang terpenting antara lain:
1.  Kewajiban materi meliputi pemberian nafkah, kebutuhan pakaian, dan kebutuhan pendidikan keluarga serta kebutuhan tempat tinggal
2.  Tidak boleh memberatkan isteri dengan mengajukan berbagai tuntutan kebutuhan di luar kemampuannya, dan tidak boleh membuat suasana kacau karena permasalahan sepele, sebagaimana yang telah diwasiatkan Rosululloh Shololloohu ‘alaihi wassallam:
“Ingatlah dan berwasiatlah kepada wanita dengan kebaikan, karena mereka berada disisimu bagaikan pelayan, dan kalian tidak bisa memiliki lebih dari itu kecuali mereka telah melakukan perbuatan keji yang jelas.”(Shohih, diriwayatkan Tirmidzi dalam Sunan-nya: 1163 dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya: 1851)
3.  Kewajiban non materi seorang suami meliputi menggembirakan isteri dan bersikap lemah lembut dalam bertutur kata. Sang suami harus bermusyawarah dan mengambil pendapat sang isteri dalam rangka menunaikan kebaikan. Begitu juga, sang suami harus berterima kasih atas jerih payah isterinya, dan tidak boleh mendiamkan di atas tiga hari karena urusan keduniaan.
4.  Hendaknya seorang suami memberi kesempatan bagi isterinya untuk beramal sholih, bersedekah dengan hartanya, memberi hadiah, menyambut tamu dari keluarga dan kerabatnya, serta setiap orang yang mempunyai hak atasnya.
5.  Hendaknya mengambil waktu yang cukup untuk tinggal di rumah dan berusaha semaksimal mungkin menghindari keluar rumah tanpa tujuan dan sering berpergian, sering keluar rumah untuk bergadang tanpa manfaat, karena yang demikian itu bisa membawa kehancuran.
6.  Hendaknya sang suami tidak melarang isterinya berkunjung kepada keluarga dan kerabatnya, asal tidak berlebihan.
7.  Wanita dalah mahluk yang lemah, maka wajib bagi laki-laki memberi perhatian cukup, melarangnya keluar ke pasar dan lainnya seorang diri, dan harus menjauhkannya dari tempat yang ikhtilath (bercampur) dan kholwah (berduaan/menyepi) dengan laki-laki lain. Begitu juga seorang suami harus menjauhkan sasuatu yang merusak aqidah dan akhlaq keluarganya, dan menyingkirkan segala sarana maksiat yang menghancurkan kehormatan, seperti alat musik.
8.  Seorang suami harus mengajarkan kepada isterinya ilmu agama dan mendidiknya di atas kebaikan, serta menyiapkan segala kebutuhannya dalam rangka meraih ilmu dan istiqomah dalam beragama sesuai dengan ajaran Alloh
Kewajiban Seorang Isteri
Di antara Kewajiban sebagai Seorang Isteri yang paling utama dan prinsip, antara lain:
1. Mentaati dan mematuhi perintah suami selagi tidak menganjurkan maksiat kepada Alloh, karena tidak ada ketaatan kepada mahluk bila menganjurkan kepada maksiat dan pelanggaran kepada Alloh, seperti sabda Rosululloh Shololloohu ‘alaihi wassallam:
“Tidak ada ketaatan bagi orang yang bermaksiat kepada Allah Subahanahu wa Ta’ala”. (Shahih. Diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya: 4840, at-Tirmidzi dalam Sunan-nya: 1707 dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya: 2865 dengan lafazh Ibnu Majah serta dishahihkan Syaikh al-Albani.)
2.  Dalam bidang materi, seorang isteri harus memberikan pelayanan fisik, baik yang berkaitan dengan kebutuhan pribadi suami atau rumah tangganya, sehingga ibadah nafilah (sunnah) menjadi gugur demi menunaikan tugas tersebut.
Dari Abu Hurairoh sesungguhnya Rosululloh Shololloohu ‘alaihi wassallam: bersabda:
“Tidak boleh bagi seorang isteri berpuasa (sunnat) sementara suami ada di rumah kecuali atas izinnya (suami), tidak boleh ia mengizinkan orang lain masuk rumahnya kecuali atas izinnya (suami), dan setiap harta suami yang diinfaqkan sang isteri tanpa seizinnya, maka sang suami mendapatkan pahala separuh baginya.” (Shohih, diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahih-nya: 2066 dan 5360, Imam Muslim dalam Shahih-nya: 2367 dan Abu Dawud dalam Sunan-nya: 1687, 2458).
3.  Dalam bidang rohani, seorang isteri harus menjaga perasaan suami dan menciptakan suasana tenang dan kondusif dalam rumah tangga serta membantu meringankan beban dan penderitaan yang menimpa suaminya.
4.  Dalam bidang kesejahteraan, seorang isteri harus mengingatkan suami tentang kebaikan, membantu dalam kebajikan dan ketaatan, membantu dalam bidang sosial, menyantuni fakir miskin dan membantu orang-orang yang lemah untuk memenuhi kebutuhan mereka.
5.  Dalam bidang pendidikan, seorang isteri harus membantu suami dengan jiwa raga dan menerima segala nasehat dan arahannya. Begitu juga dia harus membantunya dalam mendidik dan meluruskan adab anak-anak serta menghindarkan sikap antipati dan masa bodoh terhadap masa depan pendidikan anak-anak.
6. Hendaklah seorang isteri tidak mengajukan tuntutan nafkah atau lainnya yang memberatkan suami atau mempersulit suami.
7.  Tidak berkhianat dalam dirinya, harta benda suami dan rahasia-rahasianya.
Balasan Bagi Rumah Tangga yang Berhasil
Tiada amal sholih yang dianggap sia-sia oleh agama. Setiap kebaikan sekecil apapun pasti mendapat balasan. Setiap benih kebaikan yang disemai di ladang subur, pada musim panen pasti akan memetik hasilnya, maka suami dan isteri yang telah membina rumah tangga yang baik dan mengerahkan berbagai macam pengorbanan untuk mendidik keluarga. Alloh akan memberi balasan yang besar. Cukuplah balasan nikmat baginya berupa sanjungan, pujian, dan pahala yang besar setelah wafatnya, seperti yang telah ditegaskan sebuah hadits dari Abu Hurairoh Rodhiyalloohu ‘anhu ia berkata bahwa Rosululloh Shololloohu ‘alaihi wassallam bersabda:
Jika manusia meninggal maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara,: shodaqoh jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholih yang mendo’akannya.” (HR. Bukhori 7/247 no.6514, dan Muslim 3/1016 no.1631)
Balasan yang lebih besar lagi, ia dikumpulkan di surga bersama para kekasih dan kerabatnya dalam satu tempat tinggal di surga, sebagai karunia dan balasan yang baik dari Alloh, seperti firman Allohu ta’ala:
وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱتَّبَعَتۡہُمۡ ذُرِّيَّتُہُم بِإِيمَـٰنٍ أَلۡحَقۡنَا بِہِمۡ ذُرِّيَّتَہُمۡ وَمَآ أَلَتۡنَـٰهُم مِّنۡ عَمَلِهِم مِّن شَىۡءٍ۬‌ۚ كُلُّ ٱمۡرِىِٕۭ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ۬ (٢١)
Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka.Tiap-tiap manusia terikat dengan apayang dikerjakannya. (QS. 52:21)
Pembinaan rumah tangga secara baik, mampu mengangkat martabat, memperbaiki nasib rezeki, mengukir prestasi, memelihara moral generasi, dan menanggulangi dekadensi sehingga membuat hati tenang dan jiwa lapang. Maka pembinaan harus berbasis penumbuhan kesadaran, keimanan, ketaqwaan dan pengendalian diri, serta mampu membentuk suasana damai dan mesra sehingga perasaan kasih sayang tumbuh subur. Allohu musta’an
* Indahnya Rumah Tangga di Bawah Naungan Manhaj Nubuwwah

Ummu Shalih, 82 tahun, Penghafal Al-Qur’an

RUBRIK KELUARGA pada Majalah Ad-Dakwah selalu menghadirkan kepada para pembacanya kisah-kisah yanq penuh keteladanan dan juga berbagai informasi yang menyejukkan hati.
Berikut ini adalah salah satu pengalaman nyata yang dimuat dalam majalah tersebut.  Mari kita simak bersama!
Ummu Shalih. 82 tahun, mulai menghafal Al-Qur’an pada usianya yang ke-70. Tamasyanya ke taman hafalan Al-Qur’an, sungguh sangat menginspirasi. Cita-citanya yang tinggi, kesabaran, dan juga pengorbanannya patut kita teladani.
Inilah hasil wawancara dengan Ummu Shalih.
Motivasi apa yang mendorong Anda untuk menghafalkan Al-Qur’an pada umur yang setua ini?
Sebenarnya, cita-cita saya untuk menghafal Al-Qur’an sudah tumbuh sejak kecil. Kala itu ayah selalu mendoakanku agar menjadj hafizhah Al-Qur’an seperti beliau dan juga seperti kakak laki-lakiku. Dari hal itulah, aku mampu menghafal beberapa surat —kira-kira 3 juz.
Ketika usiaku menginjak 13 tahun, aku menikah. Tentu setelah itu aku tersibukkan dengan urusan rumah dan anak-anakku. Ketika aku dikaruniai 7 (tujuh) orang anak, suamiku wafat.   Karena ketujuh buah hatiku masih kecil-kecil, maka seluruh waktuku tersita untuk mengurusi dan mendidik mereka.
Nah, ketika mereka sudah dewasa dan berkeluarga, maka waktu ku pun kembali luang. Dan hal yang pertama kali aku tunaikan adalah mencurahkan tenaga dan waktuku untuk mewujudkan cita-cita agungku yang tertunda untuk menghafal Kitabullah Azza wa Jalla.
Bagaimana awal perjalanan Anda dalam menghafal?
Aku mulai menghafal kembali ketika putri bungsuku masih duduk di bangku Tsanawiyah (SMP).  Dia salah satu putriku yang paling dekat denganku, dan dia sangat mencintaiku.  Sebab kakak-kakak perempuannya telah menikah dan disibukkan dengan kehidupan baru mereka.  Sedangkan, dia (putri bungsuku) tinggal bersamaku. Dia sangat santun, jujur, dan mencintai kebaikan.
Putri bungsuku pun bercita-cita untuk menghafal Al-Qur’an—terlebih ketika ustadzahnya menyemangati dirinya. Dari sinilah, saya dan juga putri bungsuku menghafal Al-Qur’an, setiap hari 10 ayat.
Bagaimana metode yang Anda gunakan untuk menghafal?
Setiap hari, kami hanya menghafal 10 ayat saja. Pada ba’da Ashar, Kami selalu duduk bersama.   Putriku membaca ayat, kemudian aku menirukannya hingga 3 (tiga) kali.   Setelah itu putriku menerangkan makna dari ayat-ayat yang Kami baca. Lantas membaca kembali ayat-ayat tersebut hingga 3 (tiga) kali.
Keesokan harinya, sebelum berangkat ke sekolah putriku mengulangi ayat-ayat tersebut untukku. Tak cukup itu saja, saya pun menggunakan tape recorder untuk mendengar murattal Syaikh Al-Hushairi, dan aku mengulanginya hingga 3 (tiga) kali. Aku pun mendengar murattal tersebut pada sebagian besar waktuku.
Kami menetapkan hari Jum’at, khusus untuk mengulangi kembali ayat-ayat yang kami hafal selama satu pekan. Demikian seterusnya, saya dan putri bungsuku selalu menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara tersebut.
Kapan Anda selesal menghafal seluruh Al-Qur’an?
Kira-.kira 4,5 tahun berjalan aku sudah hafal 12 Juz dengan cara yang telah saya sebutkan. Kemudian putriku pun menikah. Ketika suaminya mengetahui kebiasaan kami, dia pun mengontrak sebuah rumah yang dekat dengan rumahku untuk memberikan kesempatan kepadaku dan putriku untuk menyempurnakan hafalan kami.
Semoga Allah membalas kebaikan menantuku dengan kebaikan yang lebih baik. Dialah yang selalu menyemangati kami, bahkan terkadang dia menemani kami untuk menyimak hafalan kami, menafsirkan ayat-ayat yang kami baca, dan juga memberikan pelajaran-pelajaran berharga kepada kami.
Tiga tahun kemudian, putriku tersibukkan dengan urusan anak-anaknya dan pekerjaan rumahnya.   Sehingga tidak bisa melazimi kebiasaan yang telah kami jalani. Putriku pun merasa khawatir hafalanku menjadi terbengkalai. Maka, putriku pun mencarikan untukku seorang ustadzah agar dapat menemaniku menyempurnakan hafalanku.
Dengan taufik Allah Azza Wajalla aku pun telah purna menghafalkan seluruh Al-Qur’an.   Semangat putriku pun masih membara untuk menyusulku menjadi hafizhah Al-Qur’an. Bahkan,  tidak mengendur sedikit pun.
Cita-cita Anda sangat tinggi, dan Anda pun telah mewujudkannya. Siapakah sosok wanita di sekitar Anda yang selalu mendukung Anda?
Motivasi saya telah jelas dan terang. Putri-putriku, juga para menantu perempuanku pastinya selalu mendukungku. Walau hanya satu jam, kami sepakat untuk mengadakan pertemuan sepekan sekali. Dalam pertemuan itu kami menghafal beberapa surat, dan saling menyimak hafalan. Terkadang pertemuan itu pun macet. Tetapi kemudian mereka bersepakat kembali untuk bertemu. Saya yakin, niat mereka semua sangat baik.
Tak ketinggalan pula, cucu-cucu perempuanku yang selalu memberikan kaset-kaset murattal Al-Qur’an. Hingga aku pun selalu memberi mereka bermacam-macam hadiah.
Awalnya, tetangga-tetanggaku juga tidak simpatik dengan cita-citaku. Mereka selalu mengingatkanku betapa sulitnya menghafal di usia yang daya ingatnya telah lemah. Tetapi ketika mereka melihat kebulatan tekadku, akhirnya mereka pun berbalik mendukung dan menyemangatiku. Ada di antara tetanggaku yang juga ikut tersulut semangatnya untuk menghafal, dan sedikit demi sedikit hafalannya pun mulai bertambah.
Ketika tetangga-tetanggaku mengetahui bahwa aku telah purna menghafal seluruh Al-Qur’an, mereka pun sangat berbahagia. Hingga kulihat air mata bahagia menetes di pipi mereka.
Sekarang, apakah Anda merasa kesulitan untuk muraja’ah (mengulangi) hafalan?
Saya selalu mendengarkan murattal Al-Qur’an, dan menirukannya. Demikian juga ketika shalat, saya selalu membaca beberapa surat panjang. Terkadang pula saya meminta salah seorang putriku untuk menyimak hafalanku.
Di antara putra-putri Anda, adakah yang juga hafizh seperti Anda?
Tak ada satu pun dari mereka yang hafal keseluruhan Al-Qur’an. Tetapi, insya Allah mereka selalu berusaha mencapai cita-cita menjadi hafizh. Semoga Allah menyampaikan mereka pada hal tersebut dengan bimbingan-Nya.
Setelah hafal Al-Qur’an, tidak terpikirkan untuk menghafal hadits?
Saat ini, saya telah hafal 90 hadits, dan saya tetap berkeinginan untuk melanjutkannya, Insya Allah. Saya menghafalnya dengan mendengarkan dari kaset. Pada setiap akhir pekan, putriku membacakan untukku 3 (tiga) hadits. Sekarang, saya telah mencoba untuk menghafal hadits lebih banyak lagi.
Setelah kurang lebih 12 tahun Anda disibukkan dengan menghafal Al-Qur’an, perubahan apa yang Anda rasakan dalam kehidupan Anda?
Benar, saya merasakan perubahan yang mendasar dalam diri saya. Walau sebelum menghafal–untuk Allah segala pujian—saya selalu menjaga diri untuk senantiasa dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Setelah disibukkan dengan menghafalkan Al-Qur’an, justru saya merasakan kelapangan hati yang tak terkira, dan sirnalah seluruh kecemasan dalam diriku. Saya pun tidak pernah menyangka akan terbebas dari perasaan khawatir terhadap urusan-urusan yang menimpa anak-anakku.
Moral dan spiritku benar-benar terangkat. Hingga aku pun rela berpayah-payah untuk mewujudkan kerinduanku dalam mewujudkan cita-citaku. Inilah nikmat terbesar yang diberikan oleh Sang Khaliq Azza Wajalla kepadaku sebagai wanita tua, suami pun telah tiada, dan juga anak-anaknya pun mulai berkeluarga.
Di saat wanita lanjut usia lainnya terjebak dalam angan-angan dan lamunan. Tetapi aku —segala puji hanya untuk Allah— tidak merasakan hal yang demikian. Saya benar-benar tersibukkan dengan urusan besar yang memiliki faedah di dunia dan akhirat.
Ketika itu, apakah Anda tidak berpikir untuk mendaftarkan diri pada sebuah pesantren penghafal Al-Qur’an?
Pernah beberapa wanita yang mengusulkan kepadaku, tapi saya adalah wanita yang terbiasa untuk berdiam diri di dalam rumah dan jarang sekali keluar rumah. Alhamdulillah, karena putriku telah mencukupi segalanya dan membantuku dalam segala urusan. Sungguh, putriku benar-benar tidak ada duanya. Aku pun telah banyak mengambil pelajaran darinya.
Apa yang terkesan dalam diri Anda tentang putri bungsu Anda yang telah membimbing dan mendampingi Anda?
Putri bungsuku telah memberikan pelajaran mengagumkan dalam kebaikan dan kedermawanan yang keduanya sulit ditemui pada zaman sekarang. Terlebih dia mendampingiku menghafal Al-Qur’an pada usia ABG. Padahal,usia ini adalah usia labil yang mudah terombang-ambing dan tergoda dengan keadaan yang menjerumuskan.
Tidak seperti umumnya teman-teman seusianya, putriku memaksakan diri untuk meluangkan waktunya untuk mendampingiku. Dia pun mengajari dan mendampinqiku dengan tekun, sabar, dan penuh kelembutan. Suaminya pun demikian —semoga Allah senantiasa menjaganya, selalu menolong dan telah memberikan bantuan yang begitu banyak. Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan kepada mereka berdua dan menyejukkan pandangan mata mereka dengan anak-anak yang shalih.
Apa saran Anda kepada wanita yang telah lanjut usia, dan menginginkan untuk dapat menghafalkan Al-Qur’an, tetapi terhalang oleh rasa khawatir dan merasa tidak mampu untuk melaksanakannya?
Saya katakan, “Jangan berputus asa terhadap cita-cita yang benar. Teguhkanlah keinginanmu, bulatkan tekadmu, dan berdoalah kepada Allah di setiap waktu. Kemudian, mulailah sekarang juga. Setelah umurmu berlalu dan kau curahkan seluruhnya untuk memenuhi tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga, mendidik anak, dan mengurus suami. Maka sekarang saatnyalah Anda memanjakan diri. Bukan berarti kemudian memperbanyak keluar rumah, memuaskan diri dengan tidur, bermewah-mewah, dan banyak beristirahat. Tetapi memanjakan diri dengan amal shalih.  Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita memohon khusnul khatimah.
Nasihat Anda terhadap para remaja?
Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Nikmat Allah berupa kesehatan, dan banyaknya waktu luangmu, maksimalkanlah untuk menghafal kitab Allah Azza Wa Jalla. Inilah cahaya yang akan menyinari hatimu, hidupmu, dan kuburmu setelah engkau mati.
Jika kalian masih memiliki ibu, bersungguh-sungguhlah dalam membimbingnya menuju ketaatan kepada Allah. Demi Allah, tidak ada nikmat yang lebih dicintai seorang ibu kecuali seorang anak shalih yang mau menolongnya untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza Wa Jalla.
(diterjemahkan dari quraan-sunna.com)
== disalin dari buku:
HAFAL AL-QUR’AN TANPA NYANTRI
penyusun: Abdud Daim Al Kahil.
penerbit: Pustaka Arafah
Cet I, Maret 2010, halaman 129-137
* Ummu Shalih, 82 tahun, Penghafal Al-Qur’an