Selamat Datang di Blog www.hawadanadam.blogspot.com,blog dunia wanita jalan menuju pintu surga

Sabtu, 18 Desember 2010

Larangan Keluar Rumah Tanpa Adanya Kebutuhan

Amr bin Abdul Mun'im

Imam Ibnu Jauzi Rahimahullahu mengatakan. [Ahkamun Nisa' hal. 32]
"Seorang wanita harus senantiasa berusaha untuk tidak keluar rumah meskipun ada kesempatan. Apabila keadaan mendesaknya keluar, maka dia harus meminta izin kepada suaminya, dan harus memilih jalan sepi, jauh dari keramaian dan pasar. Selain itu, dia harus berjalan dengan langkah yang tidak terdengar dan berjalan di tepi jalan dan bukan di tengahnya".
Dalam hal ini penulis katakan, hal itu didasarkan pada adanya seruan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mengharuskan kaum wanita untuk tetap tinggal di rumah dan tidak keluar kecuali untuk keperluan.
Allah Azza wa Jalla telah berfirman.
    "Artinya : Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian (1) dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu (2) ..." [Al-Ahzab : 33]
  1. Maksudnya adalah isteri-isteri Rasulullah agar tetap di rumah, dan keluar apabila ada keperluan yang dibenarkan oleh syarat. Perintah ini juga ditujukan kepada seluruh wanita Muslimah.
  2. Yang dimaksud dengan "Jahiliyah dahulu" adalah Jahiliyah kekafiran yang terdapat sebelum zaman Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan yang dimaksud dengan "Jahiliyah sekarang" adalah Jahiliyah kemaksiatan yang terjadi sesudah datangnya Islam.
Perintah ini meskipun hanya ditujukan kepada isteri-isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun demikian mencakup seluruh wanita Muslimah.
Dari Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu anha, dia menceritakan.
    "Artinya : Seandainya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui apa yang terjadi pada kaum wanita, niscaya beliau akan melarang mereka berangkat ke masjid sebagaimana larangan yang berlaku bagi wanita Bani Israel". [Hadits Riwayat Muttafaqun 'alaih]
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu, dia menceritakan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
    "Artinya : Janganlah kalian melarang isteri-isteri kalian pergi ke masjid, tetapi berdiam di rumah adalah lebih baik bagi mereka". [Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud (567) melalui Habib bin Abi Tsabit, dari Ibnu Umar].
Dari Aisyah Radhiyallahu anha, dia menceritakan.
    "Artinya : Saudah -setelah dikeluarkan perintah penguluran hijab- keluar untuk suatu keperluan, dia ini wanita berbadan besar, tidak asing bagi orang yang melihatnya. Maka Umar bin Khaththab melihatnya dan berkata. "Wahai Saudah, demi Allah, apa yang sembunyikan dari kami. Lihatlah bagaimana engkau sembunyikan dari kami. Lihatlah bagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedang beliau berada di rumahku melakukan makan malam dan ditanganya terdapat otot. Kemudian dia (Saudah) menemui beliau dan berkata. "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pernah keluar untuk beberapa keperluan, lalu Umar berkata kepadaku : 'ini dan itu'. Aisyah melanjutkan. "Lalu Allah memberikan wahyu kepada beliau, dan diangkat darinya dan beliau berkata. "Sesungguhnya telah diizinkan kepada kalian keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan". [Hadits Riwayat Muttafaqun 'alaih]
Oleh karena itu, wahai wanita Muslimah, kalian semua harus mengindahkan dan mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya untuk tetap tinggal di rumah, dan tidak keluar kecuali untuk keperluan yang telah ditetapkan oleh syari'at, serta senantiasa memperhatikan sopan santun yang diajarkan syari'at dalam bepergian.
* Larangan Keluar Rumah Tanpa Adanya Kebutuhan

Keringanan Untuk Pergi Menuntut Ilmu Yang Diharuskan Syari'at

Amr bin Abdul Mun'im

Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya telah memerintahkan kita untuk menuntut ilmu yang telah ditetapkan syari'at yang kita butuhkan supaya kita dapat beribadah kepada-Nya dengan benar sehingga benar-benar diridhai-Nya.
Dimana Dia berfirman.
    "Artinya : Katakanlah, Adakah kesamaan antara orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu". [Al-Zumar : 9]
Dalam surah yang lain, Allah juga berfirman.
    "Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kalian, "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untuk kalian. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kalian, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan". [Al-Mujadilah : 11]
Sedangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda.
    "Artinya : Barangsiapa yang menghendaki kebaikan dari Allah, maka Dia memberikan pemahaman dalam agama". [Diriwayatkan oleh Muttafaqun 'alaih, dari Mua'wiyah Radhiyallahu 'anhu]
"Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah".
Ilmu inilah yang diminta oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam do'anya.
    "Artinya : Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, dan aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat". [Hadits ini isnadnya Laa Ba'sa Bihi. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (3843), juga Al-Ajiri dalam pembahasan "Akhlaqu Al-Ulama" (108) melalui Usamah bin Yazid, dari Muhammad bin Al-Munkadirm dari Jabir. Mengenai masalah ini saya telah menjelaskan secara rinci dalam buku saya yang berjudul Akhlaqun Mahmudatun wa Akhlaqun Mazmuataun Fii Thalabi Al'Ilmi (Akhlak Terpuji dan Akhlak Tercela Dalam Menuntut Ilmu) hal. 97]
Sama seperti orang laki-laki, wanita juga diberi tugas untuk menuntut ilmu, yaitu belajar hal-hal yang berkenaan dengan agama, misalnya Thaharah, Shalat, Zakat Haji dan lain-lainnya yang dibutuhkannya dalam memahami masalah agama.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengetahui bahwa banyak dari para suami yang tidak mengetahui dan memahami agama.
Beberapa dalil yang menunjukkan hal itu banyak sekali dalam hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha sendiri pernah berkata : "Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar, mereka tidak malu-malu untuk bertanya mempelajari dan memahami agamanya". (Lihat Kitab Shahih Bukhari, kitabul 'ilmi. Dan juga kitab Shahih Muslim kitabul haid). Sulaim bin Milhan, Ibunda Anas bin Malik pernah datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu pada kebenaran, maka aku pun tidak malu untuk bertanya : "Apakah wanita wajib mandi bila bermimpi ?". Maka Rasulullah menjawab : "Ya, apabila dia melihat adanya air mani !" Maka Ummu Sulaim pun menutup wajahnya karena malu. Kemudian bertanya lagi : "Wahai Rasulullah, Apakah wanita juga mimpi seperti itu ?" Beliau menjawab : "tentu, kalau tidak, mengapa ada anak yang mirip dengan ibunya !" [Lihat kitab Shahih Bukhari, kitabul 'ilmi. Dan juga kitab Shahih Muslim, kitabul haid]
Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa Ummu Sulaim pernah datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sedang didampingi oleh Aisyah Radhiyallahu 'anha. Ketika Ummu Sulaim bertanya kepada Nabi, Aisyah berkata : "Wahai Ummu Sulaim, Mengapa engkau beberkan rahasia wanita ?" Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata kepada Aisyah : "Biarkanlah, hendaklah engkau mandi wahai Ummu Sulaim apabila melihat air mani itu".
Demikian itulah Ummu Sulaim pergi menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menanyakan hal-hal yang berkenaan dengan agama, yang tidak menemukan jawabannya pada orang lain.
Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak segan-segan menjawabnya serta tidak memarahi kedatangan tersebut.
Hal yang sama juga diceritakan oleh Aisyah Radhiyallahu 'anha : Fatimah bin Hubaisy pernah berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Wahai Rasullulah, sesungguhnya aku dalam keadaan istihadhah dan tidak suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat selamanya ?".
Rasulullah menjawab. "Sesungguhnya yang demikian itu adalah darah yang keluar dari pembuluh darah, tinggalkan shalat selama hari-hari engkau menjalani haid, setelah itu bersihkanlah dirimu dan kerjakan shalat". [Hadits Shahih. Diriwayatkan oleh Imam Muslim (1/262), Imam Tirmidzi (125), Imam Nasa'i (1/181), Ibnu Majah (621) melalui Waki' dari Hisyamn bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah Radhiyallahu 'anha]
Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa Asma' binti Yazid bin al Sakan al-Anshariyyah (1), dia pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai mandi dari haid. Maka Rasulullah menjawab: "Hendaklah salah seorang di antara kalian menyediakan air yang bercampur dengan daun sidra, lalu bersucilah dengan sebaik-baiknya. Setelah itu tuangkanlah air dan gunakanlah secarik kain atau kapas yang telah diberi wangi-wangian, untuk selanjutnya bersihkanlah darah haid itu dengannya". Maka Asma binti Yazid pun bertanya: "Bagaimana cara bersuci denganya ?" Rasulullah pun menjawab: "Subhanallah, bersucilah dengannya !". Lalu Aisyah Radhiyallahu 'anha bertutur dengan sangat merahasiakannya: "Usaplah dengannya bekas-bekas darah haid !".
Selain itu, Asma binti Yazid juga bertanya mengenai mandi janabat, maka beliau pun menjawab : "Ambil air dan bersucilah dengannya secara baik. Kemudian guyurkanlah air di atas kepalamu dan gosok-gosoklah kulit dan rambutmu hingga rata. Setelah itu tuangkanlah air ke seluruh tubuhmu". [Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam kitabul haid persis dengan lafadz tersebut di atas]
Dari Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, menceritakan :
Ada beberapa wanita yang bertutur kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Kami dikalahkan oleh kaum laki-laki untuk belajar kepadamu, karenanya luangkanlah waktumu barang satu hari bagi kami. Beliau pun menjanjikan suatu hari untuk mengadakan pertemuan dengan mereka, lalu beliau memberikan nasehat dan mengajari mereka". [Hadits Riwayat Muttafaqun 'alaihi]
Seorang wanita mempunyai hak pergi belajar hal-hal yang berkenan dengan agama yang dibutuhkannya guna memperbaiki ibadah yang dijalankannya.
Pada sisi lain, seorang wanita tidak diperbolehkan pergi belajar ilmu-ilmu yang sifatnya fardhu kifayah, apabila suaminya memerintahkan untuk tinggal di rumah saja, karena ketaatan kepada suami merupakan suatu hal yang wajib sedangkan belajar ilmu-ilmu yang sifatnya fardhu kifayah adalah sunnah jika tidak dikhawatirkan timbulnya fitnah, dan tidak diragukan lagi bahwa suatu hal yang wajib harus didahulukan dari yang sunnah.
Tetapi apakah ada syarat-syarat yang harus dipegang teguh seorang wanita pada saat keluar rumah untuk tujuan tersebut ?.
Jawabannya, "Ya". Ada beberapa syarat dan tata cara yang harus diperhatikan dan dijalankan seorang wanita ketika pergi menuntut ilmu. Mengenai syarat-syarat dan tata cara tersebut telah kami terangkan secara rinci dalam buku kami yang berjudul Al-Adab Al-Syra'iyyah Li-Anisa Fii Thalabu Al-'Ilm. Oleh karena itu, kami anjurkan supaya wanita muslimah membaca buku tersebut karena terdapat keterangan dan penjelasan mengenai adab dan tata cara menuntut ilmu yang harus diketahuinya.
* Keringanan Untuk Pergi Menuntut Ilmu Yang Diharuskan Syari'at

Keringanan Memakai Wangi-Wangian Yang Tidak Tercium Baunya Oleh Selain Muhrim

Amr bin Abdul Mun'im

Wanita muslimah hendaknya mengetahui bahwa minyak wangi (parfum) merupakan salah satu perhiasan baik bagi laki-laki maupun bagi wanita, yang secara mutlak diperbolehkan bagi orang laki-laki dan pada waktu-waktu tertentu disunnahkan.
Sedangkan bagi wanita diberikan keringanan untuk memakainya. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
    "Artinya : Apabila salah seorang di antara kalian menyaksikan waktu Isya' -dalam sebuah riwayat disebutkan : masjid- maka hendaklah dia memakai wangi-wangian pada malam itu". [Hadits Riwayat Muslim]
Juga sabdanya.
    "Artinya : Setiap wanita mana saja yang terkena bau wangi, maka hendaklah dia tidak mengerjakan shalat Isya' bersama kami". [Hadits Riwayat Muslim] "Artinya : Setiap wanita mana saja yang memakai wangi-wangian lalu dia berjalan melewati suatu kaum supaya mereka mencium bau wanginya itu, berarti dia telah berzina". [Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (IV/414) Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud (4173). Imam Tirmidzi (2786). Imam Nasa'i (VIII/153) melalui Ghanim bin Qais dari Abu Musa Al-Asy'ari]
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, "maka hendaklah dia tidak memakai wangi-wangian pada malam itu" secara jelas membolehkan wanita memakai wangi-wangian di dalam rumah mereka selama baunya tidak tercium oleh laki-laki yang bukan muhrim.
Dari Abu Sa'id Al-Khudry Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda.
    "Artinya : Mandi pada hari jum'at wajib bagi setiap orang yang bermimpi, juga bersiwak, dan memakai minyak wangi secukupnya".
Dari Zainab bin Abi Salamah Radhiyallahu 'anha, dia menceritakan tentang hadits tiga orang ini. Zainab binti Abi Salamah berkata.
Aku pernah mendatangi Ummu Habibah, isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pada saat ayahnya, Abu Sufyan bin Harb meninggal dunia, lalu dia meminta diambilkan minyak wangi yang berwarna kuning, lalu seorang hamba sahaya wanita memakaikan dan mengusapkan ke jambangnya, kemudian berkata : "Demi Allah, sebenarnya aku tidak membutuhkan minyak wangi, tetapi aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda.
    "Artinya : Tidak diperbolehkan bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih dari tiga hari, kecuali karena kematian suaminya, selama empat bulan sepuluh hari".
Selanjutnya Zainab berkata. "Kemudian aku masuk menemui Zainab binti Jahsy pada saat saudaranya meninggal. lalu dia mengambil minyak wangi dan memakainya, kemudian berkata : "Demi Allah, sebenarnya aku tidak membutuhkan minyak wangi, tetapi aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda.
    "Artinya : Tidak diperbolehkan bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih dari tiga hari, kecuali karena kematian suaminya, selama empat bulan sepuluh hari".
Lebih lanjut Zainab menceritakan : Dan aku juga pernah mendengar Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha berkata. "Ada seorang wanita yang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya bertutur. "Wahai Rasulullah, putriku telah ditinggal mati suaminya dan ketika dia sakit mata, apakah boleh aku mencelakinya ?. "Tidak", jawab Rasulullah. Ketika pertanyaan itu diulang sampai dua tiga kali tetap dijawab tidak, oleh beliau. Kemudian beliau bersabda. "Sesungguhnya hanya empat bulan sepuluh hari padahal dulu di masa jahiliyah membuang kotoran unta (yakni membuang sial) hanya sesudah satu tahun".
Hummaid berkata, "Maka aku bertanya kepada Zainab bagaimana membuang kotoran unta sesudah satu tahun itu ?. Zainab menjawab. "Seorang wanita apabila ditinggal mati suaminya lalu ke sepen (gubug kecil di belakang rumah) dan memakai baju yang paling buruk dan tidak boleh mengenakan wangi-wangian selama satu tahun, dan sesudah satu tahun dibawakan kepadanya keledai atau kambing atau burung. Kemudian dia bersihkan badannya dari semua kotoran dengan menggunakan binatang tersebut dan jarang sekali binatang yang digunakan untuk membersihkan badannya itu dapat hidup, yakni segera mati. Selanjutnya dia keluar dari sepen tersebut lalu diberikan kotoran unta untuk dilemparkannya, lalu kembali seperti biasa mengenakan wangi-wangian dan lain sebagainya".
Malik ditanya : "Bagaimana cara membersihkan hal itu ?. Dia menjawab. "Mengusap-usapkan badannya ke binatang itu". [Hadits Riwayat Muttafaqun 'alaihi].
Semua hadits di atas secara jelas membolehkan wanita memakai wangi-wangian, tidak mutlak. Karena seperti yang telah kami uraikan sebelumnya bahwa minyak wangi merupakan salah satu perhiasan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan kaum wanita untuk tidak memperlihatkan perhiasan mereka kepada laki-laki yang bukan muhrimnya, dimana Dia berfirman.
    "Artinya : Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa nampak darinya. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami, ayah mereka, ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan jangan mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung". [An-Nuur : 31]
Tidak diragukan lagi bahwa minyak wangi merupakan salah satu macam dari perhiasan yang tidak diperbolehkan untuk diperlihatkan kepada orang-orang yang bukan muhrimnya, sebagaimana telah ada larangan bagi wanita pergi ke masjid dengan memakai minyak wangi. Dan ancaman bagi wanita yang keluar rumah dengan memakai minyak wangi supaya orang laki-laki mencium baunya sungguh sangat berat.
Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits dari Abu Musa Al-Asy'ari Radhiyallahu 'anhu, dia menceritakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda.
    "Artinya : Setiap wanita mana saja yang memakai wangi-wangian lalu dia berjalan melewati suatu kaum supaya mereka mencium bau wanginya itu, berarti dia telah berzina". [Hadits ini Shahih. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (IV/414). Juga diriwayatkan Abu Daud (4173). Imam Tirmidzi (2786). Imam Nasa'i (VIII/153) melalui Ghanim bin Qais, dari Abu Musa Al-Asy'ari]
Oleh karena itu wanita Muslimah diberikan untuk memakai wangi-wangian di dalam rumah dengan syarat tidak tercium oleh orang-orang yang bukan muhrimnya, karena wangi-wangian itu dapat membangkitkan nafsu birahi dalam diri mereka, selain karena wangi-wangi itu juga termasuk perhiasan yang apabila diperlihatkan akan mamancingkan timbulnya perzinaan.
Hal ini terlihat pada apa yang dikandung dalam hadits berikut ini.
    "Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, sesungguhnya dia tidak pernah menolak minyak wangi. Dan dia merasa yakin bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga tidak menolak minyak wangi". [Hadits Riwayat Bukhari]
Apabila seorang wanita hendak pergi ke masjid atau untuk beberapa keperluan, maka hendaklah dia tidak memakai minyak wangi. Dan apabila telah terlanjur mamakainya di rumah sedang dia harus pergi ke suatu tempat maka dia harus membersihkan diri sehingga bau minyak wangi itu tidak tercium". [Telah disebutkan dalam sebuah hadits dha'if dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dimana beliau bersabda: "Apabila seorang wanita akan pergi ke masjid maka hendaklah dia mandi membersihkan diri dari minyak wangi seperti dia mandi janabah". Diriwayatkan oleh Imam Nasa'i (VIII/153) melalui Shafwan bin Salim, dari seorang yang dapat dipercaya, dari Abu Hurairah. Mengenai hal ini penulis . 'Perawi hadist ini dari Abu Hurairah mubham (tidak jelas), meskipun didukung oleh Shaewan bin Salim. Dan juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam bukunya Al-Musnad (11/297, 444,461) melalui Ashim bin Ubaidillah, dari Ubaid Maula, dari Abu Hurairah. Ashim bin Ubaidillah adalah orang yang dha'if. Dan seperti yang kami sebutkan, dia tidak dapat dijadikan pegangan dalam hadits ini. Seperti yang diketahui, kebanyakan minyak wangi akan hilang dengan siraman air, dan itu tidak lain kecuali dengan mandi].
* Keringanan Memakai Wangi-Wangian Yang Tidak Tercium Baunya Oleh Selain Muhrim

Larangan Menyerupai Laki-Laki

Amr bin Abdul Mun'im

Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhu, dia menceritakan.
    "Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat orang laki-laki yang bersikap seperti wanita dan wanita seperti laki-laki".
Sedangkan dalam riwayat yang lain disebutkan.
    "Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat orang laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki". (Hadits Riwayat Bukhari)
Hadist di atas menunjukkan kepada kita larangan bagi laki-laki untuk menyerupai wanita, baik itu dengan cara melembutkan suara maupun dengan menirukan gerakan, pakaian, perhiasan, dan lain sebagainya dari karakter kewanitaan. Dan menunjukkan larangan bagi wanita untuk menyerupai laki-laki, baik itu dengan cara mengkasarkan suaranya maupun dengan cara meniru gerakan dan pakaian mereka.
Musuh-musuh Islam telah berusaha menggunakan cara yang sangat buruk untuk merusak Islam dan menghancurkan akidah yang bersemayam dalam diri para pemeluknya dengan cara menyebarluaskan pakaian-pakaian wanita yang menyerupai pakaian laki-laki, misalnya celana, kemeja, jaket dan bahkan sepatu. Padahal mereka semua mengetahui bahwa Islam melarang wanita menyerupai laki-laki. Penyerupaan wanita seperti orang laki-laki merupakan awal dari cara perusakan agama Islam dalam diri wanita Muslimah.
Mengapa wanita dilarang melakukan itu ??
Karena mereka mempunyai kedudukan sebagai isteri, saudara dan sekaligus ibu rumah tangga.
Tidak diragukan lagi, sebagai seorang istri, wanita akan memberikan pengaruh terhadap suaminya, saudara dan putera-puterinya. Apabila wanita itu baik, maka akan memberikan pengaruh positif, dan apabila rusak maka akan memberikan pengaruh negatif. Wanita merupakan tiang umat, apabila dia baik maka seluruh umat akan baik dan sebaliknya apabila rusak maka akan rusak pula seluruh umat.
Sedangkan alasan penyerupaan itu, karena penyerupaan wanita seperti orang laki-laki merupakan tindakan yang keluar dari fitrahnya sebagai wanita yang telah diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla. Penyerupaan ini termasuk dosa besar, karena adanya laknat bagi pelakunya.
Yang paling selamat bagi setiap wanita Muslimah adalah memelihara fitrah yang telah diciptakan Allah Subhanahu wa Ta'ala baginya, tidak menyerupai laki-laki dalam segala hal, meski dalam hal memakai sandal sekalipun.
Dari Ibnu Abi Malikah, dia berkata : Dikatakan kepada Aisyah Radhiyallahu Anha, "Ada seorang wanita yang memakai sandal". Maka Aisyah berkata. "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat wanita yang menyerupai laki-laki". (Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud (4099) melalui Ibnu Juraij, dari Abu Abi Malikah)
* Larangan Menyerupai Laki-Laki

Larangan Bersalaman Dengan Laki-Laki Yang Bukan Muhrim

Amr bin Abdul Mun'im

Dari Ma'qil bin Yasar Radhiyallahu 'anhu, dia menceritakan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda.
    "Artinya : Andaikan ditusukkan ke kepala salah seorang diantara kalian dengan jarum besi, yang demikian itu lebih baik daripada dia harus menyentuh wanita yang tidak dibolehkan baginya". [Diriwayatkan oleh Imam Thabrani dalam Al-Kabir XX/211 dengan isnad hasan. Hadits ini mempunyai jalan lain yang saya sebutkan dalam ta'liq (komentar) saya terhadap buku Al-Mushafahah wa Fadhluha, yang ditulis oleh Al-Hafidzh Dhiya'uddin Al-Maqdisi]
Dari Umaimah binti Raqiqah, dia menceritakan.
"Aku pernah mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sedang menemui wanita-wanita yang berbai'at kepada beliau, wanita-wanita itu mengatakan. "Wahai Rasulullah, kami berbai'at kepadamu untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka (1) dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik". Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata. "Pada hal-hal yang kamu mampu". Maka wanita-wanita itupun berucap. "Allah dan Rasul-Nya lebih menyayangi kami daripada diri kami sendiri, mari kami akan berbai'at kepadamu, wahai Rasulullah. "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Sesungguhnya aku tidak menyalami wanita, karena ucapanku bagi seratus wanita sama seperti ucapanku bagi satu wanita, atau seperti ucapanku bagi satu wanita". (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwattha', hal. 982 dari Muhammad bin Al-Munkadir, dari Umaimah).
Kedua hadits di atas menunjukkan bahwasanya seorang wanita tidak boleh bersalaman dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, karena sentuhan merupakan langkah pendahuluan dari perzinaan. Hal itu dibenarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di mana beliau bersabda.
    "Artinya : Telah ditetapkan bagi anak cucu Adam bagian-bagiannya dari zina, yang dia pasti mengetahuinya. Zina kedua mata adalah berupa pandangan, zina kedua telinga berupa pendengaran, zina lisan berupa ucapan, zina kaki berupa langkah, sedangkan hati mengharap dan menginginkan, dan kemaluan yang membenarkan dan mendustainya".
Sedangkan suara-suara nyeleneh yang dikumandangkan oleh orang-orang yang senantiasa melakukan tipu daya terhadap Islam, yang mengungkapkan bahwa salaman antara laki-laki dan wanita merupakan simbol persahabatan yang tulus di antara keduanya. Suara-suara itu hanyalah omong kosong yang tidak berdasarkan pada Al-Qur'an maupun Al-Hadits. Tetapi sebaliknya, dalil-dalil yang ada bertentangan dengan apa yang mereka kumandangkan dan memperjelas kedustaan ucapan mereka
* Larangan Bersalaman Dengan Laki-Laki Yang Bukan Muhrim

Larangan Berkhulwah Dengan Laki-Laki Yang Bukan Muhrim

Amr bin Abdul Mun'im

Hal itu didasarkan pada hadits Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhu, di mana dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
    "Artinya : Tidak diperbolehkan bagi seorang laki-laki berkhulwah (menyendiri) dengan seorang wanita kecuali bersamanya (wanita) muhrimnya". (Hadist Riwayat Muttafaqun 'alaih)
Dan dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu 'anhu. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda.
    "Artinya : Janganlah kalian masuk ke tempat wanita. 'Lalu seseorang dari kaum Anshar berkata : "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu mengenai ipar?'. Beliau menjawab, "Ipar itu maut (menyendiri dengannya bagaikan bertemu dengan kematian)". (Hadits Riwayat Muttafaqun 'alaih)
Kedua hadits di atas secara jelas mengharamkan khulwah bagi seorang laki-laki dengan wanita yang bukan muhrimnya. Sengaja kami menyebutkannya dalam pembahasan buku ini karena banyak wanita yang menganggapnya remeh, di mana mereka seringkali mengizinkan laki-laki yang bukan muhrimnya menemuinya di rumah dan duduk bersama dengan alasan bahwa laki-laki itu adalah sahabat keluarga. Dengan alasan dan pengakuan tersebut mereka telah banyak merusak kehormatan dan menghancurkan rumah tangga.
Yang harus dilakukan oleh wanita Muslimah adalah tidak mengizinkan masuk seseorang ke rumah suaminya kecuali atas persetujuannya, dan dalam menemuinya harus senantiasa memperhatikan aturan-aturan syari'at, berhijab dan tidak berkhulwah. Oleh karena hendaklah dia tidak duduk bersama-sama dengan laki-laki yang bukan muhrimnya itu -meski sedang bersama suaminya- hanya sekedar untuk berbincang-bincang ringan. Duduk bersama-sama diperbolehkan hanya pada saat mendesak menurut syari'at, misalnya berobat atau menikah.
Sebagian wanita ada yang duduk-duduk bersama laki-laki yang bukan muhrimnya dengan alasan bahwa bersama-samanya ada anak-anak mereka yang masih kecil, baik laki-laki maupun wanita. Yang demikian ini sama sekali tidak benar karena keberadaan anak kecil dianggap tidak ada karena tidak menjadikan mereka tidak merasa malu. Demikian juga khulwah satu, dua atau lebih orang laki-laki dengan seorang wanita merupakan perbuatan yang diharamkan.
Ath-Thabrany mentakhrij sebuah hadits.
    "Artinya Janganlah kamu sekalian berkhalwat dengan wanita. Demi diriku yang ada dalam kekuasaan-Nya, tidaklah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita melainkan syetan akan masuk di antara keduanya. Lebih baik seorang laki-laki berdekatan dengan babi yang berlumuran tanah liat atau lumpur daripada dia mendekatkan bahunya ke bahu wanita yang tidak halal baginya".
Terkadang seorang laki-laki menemui seorang wanita yang tertinggal dalam perjalanan bersama rombongan, maka dia (laki-laki) dibolehkan untuk menemaninya dengan syarat dia berjalan di depan wanita tersebut, seperti yang terjadi pada diri Aisyah Radhiyallahu anha ketika tertinggal dari rombongan tentara pada saat terjadi haditsul ifki (berita bohong).
* Larangan Berkhulwah Dengan Laki-Laki Yang Bukan Muhrim

Larangan Membuat Tato, Mencukur Alis Dan Merenggangkan Gigi

Amr bin Abdul Mun'im

Yang dimaksud membuat tato adalah menusuk-nusukkan jarum atau sebangsanya di punggung telapak tangan, lengan atau bibir atau tempat-tempat lainnya pada tubuh wanita yang tidak mengeluarkan darah, kemudian memberikan celak atau kapur pada bekas tusukan tersebut sehingga kulitnya berubah menjadi warna hijau.
Wanita yang menjadi tukang membuat tato itu disebut sebagai Wasyimah, sedangkan wanita yang dibuatkan tato disebut Mausyumah, dan yang meminta dibuatkan tato disebut Mustausyimah. (Syarhu Shahihi Muslim, Nawawi IV/836)
Yang dimaksud dengan perenggangan gigi di sini adalah merenggangkan atau menggeser gigi taring dan empat gigi seri. (Gaharibu Al-Hadits, Khutabi 1/598). Hal ini sering dilakukan oleh wanita-wanita yang sudah tua dengan tujuan agar terlihat lebih muda. Sebenarnya kerenggangan antara gigi seri ini terjadi pada anak-anak kecil. Setiap kali bertambah usia seorang wanita khawatir sehingga dia merapikan giginya dengan alat perapi gigi supaya terlihat lembut dan baik serta tampak lebih muda. (Syarhu Shahihi Muslim, Nawawi IV/837)
Ketiga hal tersebut di atas merupakan perbuatan yang dilarang agama, dan pelakunya dilaknat, karena hal itu termasuk perbuatan merubah apa yang telah diciptakan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhu :
"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan wanita yang minta disambungkan rambutnya, wanita yang mentato (kulitnya) dan wanita yang meminta dibuatkan tato". (Hadits Riwayat Muttafaqun 'alaih).
Sedangkan dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, dia berkata :
"Allah melaknat wanita yang mencukur alisnya dan wanita yang minta dicukurkan alisnya, wanita yang minta direnggangkan giginya untuk mempercantik diri, yang mereka semua merubah ciptaan Allah". Abdullah bin Mas'ud melanjutkan, maka hal itu terdengar oleh wanita dari Bani Asad bernama Ummu Ya'qub. Setelah membaca Al-Qur'an, dia mendatangi Abdullah bin Mas'ud dan berkata : "Aku mendengar engkau melaknat wanita yang menyambung rambut dan wanita yang meminta disambungkan rambutnya, wanita yang mencukur alisnya dan wanita yang meminta direnggangkan giginya yang semuanya itu merubah ciptaan Allah ?" Abdullah bin Mas'ud menjawab, "Bagaimana aku tidak melaknat orang-orang yang dilaknat oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan semuanya itu telah diterangkan di dalam Al-Qur'an". Wanita itu berkata : "Aku telah membaca semua isi Al-Qur'an tetapi tidak mendapatkannya". Lalu Abdullah bin Mas'ud berkata. "Kalau engkau membacanya, pasti engkau akan mendapatkannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : "Apa yang diperintahkan Rasul kepada kalian maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah". Wanita itupun berkata : "Sesungguhnya aku melihat hal itu pada istrimu sekarang ini". Abdullah bin Mas'ud pun bertutur : "Temui dan lihatlah dia". Selanjutnya Abdullah bin Mas'ud menceritakannya. "Maka wanita itu pun menemui istri Abdullah bin Mas'ud tetapi dia tidak mendapatkan sesuatu apapun. Kemudian dia pergi menemui Abdullah dan berkata : "Aku tidak melihat sesuatu". Maka Abdullah pun berkata : "Seandainya ada sesuatu padanya niscaya kami tidak akan menggaulinya". (Hadits Riwayat Muattafaqun alaihi)
Dan dari Abu Jahifah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata :
"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang uang hasil penjualan darah dan penjualan anjing serta upah pelacuran. Dan beliau juga melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan wanita yang meminta disambungkan rambutnya, orang yang memakan riba dan orang yang menjadi mitranya serta orang yang menggambar". (Hadits Riwayat Bukhari).
Imam Nawawi Rahimahullah berkata :
"Menurut hadits tersebut semuanya itu merupakan perbuatan haram, karena hal itu jelas merubah ciptaan Allah, selain juga sebagai kebohongan sekaligus sebagai tipu daya".
Mengenai hal ini penulis katakan, adanya laknat bagi pelakunya menunjukkan bahwa perbuatan itu merupakan dosa besar. Oleh karena itu, hal itu telah dikategorikan oleh Al-Hafidzh Al-Zahabi termasuk dalam enam puluh dosa besar.
Banyak wanita yang meminta nikah dengan melakukan hal itu terhadap dirinya sendiri, sehingga mereka mengira terlihat lebih muda atau cantik. Yang lebih aneh lagi, beberapa dari para ibu melakukan hal tersebut terhadap puteri-puteri mereka yang masih kecil. Dalam hal itu sang ibu yang berdosa sedangkan sang anak tidak berdosa.
Salah seorang di antara mereka ada yang menanyakan mengenai wanita yang tumbuh jenggot atau kumis karena banyaknya hormon laki-laki pada diri mereka, lalu apakah mereka boleh mencukurnya ?
Mengenai pertanyaan seperti itu dijawab boleh, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membebani seseorang diluar kemampuannya, melainkan sesuai dengan kemampuannya. Selain itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang wanita bertasyabuh (menyerupai) dengan laki-laki, sedangkan membiarkan jenggot dan kumis tumbuh panjang merupakan tindakan menyerupai laki-laki. Tasyabuh seperti itu tidak dapat dihilangkan melainkan dengan mencukur jenggot dan kumis tersebut.
Imam Nawawi Rahimahullahu (Syarhu Shahihi Muslim IV/837) :
"Tindakan seperti itu jelas haram kecuali apabila pada diri seorang wanita tumbuh jenggot atau kumis, maka dia tidak dilarang untuk mencukurnya, bahkan hal itu dianjurkan bagi kita".
Selanjutnya dia mengatakan :
"Larangan itu hanya diperuntukkan pada rambut-rambut yang tumbuh di beberapa bagian wajah".

Dalam hal ini penulis katakan : Oleh karena itu, pencukuran jenggot dan kumis bagi seorang wanita bukan merupakan tindakan merubah ciptaan Allah, karena dasar penciptaan wanita adalah tanpa jenggot maupun kumis. Bahkan sebagian ulama mengharamkan laki-laki memotong jenggotnya karena hal itu termasuk tasyabbuh dengan wanita, dan itu jelas-jelas dilarang.
Demikian halnya perbaikan gigi karena untuk berobat atau untuk menghilangkan aib dan semisalnya merupakan suatu tindakan yang tidak dilarang. Imam Nawawi mengatakan :
"Dalam hadits di atas terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa yang dilarang (haram) adalah orang yang meminta direnggangkan giginya dengan tujuan untuk mempercantik diri. Sedangkan apabila bertujuan untuk memperbaiki atau menghilangkan aib pada susunan gigi maka hal itu tidak dilarang". (Syahru Shahihi Muslim IV/837)
* Larangan Membuat Tato, Mencukur Alis Dan Merenggangkan Gigi

Keringanan Mewarnai Kuku Bagi Wanita Haid

Amr bin Abdul Mun'im

Pacar (mewarnai kuku dengan daun inay) merupakan salah satu bentuk perhiasan yang dapat menambah kecantikan wanita. Banyak wanita yang memakai pacar pada kukunya dengan daun inay (pacar), karena hal itu dapat menarik kecintaan suami.
Wanita yang sedang haid diberikan keringanan untuk memakai pacar, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits berikut ini :
"Dari Mu'adzah : Ada seorang wanita bertanya kepada Aisyah radhiyallahu 'anha : "Apakah wanita yang sedang haid boleh memakai pacar?"
Aisyah menjawab : Pada saat sedang di sisi nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kami memakai pacar pada kuku, dan beliau tidak melarang kami melakukan hal itu"
. (Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah (656) dengan sanad shahih)
Dari Nafi' Maula bin Umar, dia menceritakan :
"Bahwa istri-istri Ibnu Umar semuanya memakai pacar pada kuku mereka pada saat sedang haid". (Diriwayatkan oleh Imam Al-Darimi (1094) dengan sanad shahih)
Mengenai hal ini penulis katakan, apabila pemakaian pacar itu terlalu tebal sehingga air wudhu' tidak dapat menyentuh kulit pada saat sedang dalam keadaan suci, ketika itu seorang wanita harus menghapus dan menghilangkannya. Demikian itulah keringanan yang diberikan kepada seorang wanita yang sedang haid karena pada saat itu dia tidak berwudlu'.
Disamping pacar itu dari inay, seorang wanita juga diperbolehkan mengecat kukunya (kutek) pada saat sedang haid, karena dia tidak harus berwudlu' dan mengerjakan sholat. Tetapi pada saat dalam keadaan suci, dia harus menghilangkannya.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, dia menceritakan :
"Istri-istri kami memakai pacar pada malam hari, apabila pagi tiba mereka melepasnya, kemudian berwudlu dan mengerjakan shalat. Setelah shalat mereka memakai pacar lagi dan apabila tiba waktu dzuhur mereka melepasnya, lalu berwudlu' dan mengerjakan shalat . Hal itu dilakukannya dengan sebaik-baiknya dan tidak menghalangi mereka dari shalat". (Diriwayatkan oleh Imam Al-Darimi (1093) dengan sanad shahih)
Tetapi ada dua hal yang diperhatikan :
Pertama : Pemakaian pacar -termasuk juga kutek- merupan salah satu perhiasan yang tidak boleh diperlihatkan kepada laki-laki yang bukan muhrim. Oleh karena itu, wanita yang memakainya harus menyembunyikan dari pandangan laki-laki yang bukan muhrim.
Kedua : Pengecatan kuku (kutek) adalah salah satu kebiasaan orang barat yang dilancarkan ke tengah-tengah masyarakat kita. Dan melakukannya merupakan tindakan menyerupai wanita-wanita kafir tersebut, dan inilah yang dilarang.
Disalin dari buku 30 Keringanan Bagi Wanita, oleh Amr Bin Abdul Mun'in terbitan Pustaka Azzam - Jakarta.
* Keringanan Mewarnai Kuku Bagi Wanita Haid

Keringanan Berdzikir Kepada Allah Bagi Wanita Haid

Amr bin Abdul Mun'im

Zikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala merupakan suatu kewajiban bagi setiap Muslim dan Muslimah.
Sebagaimana yang difirmankan Allah Azza wa Jalla.
"Artinya : Karena itu, berdzikirlah (ingat) kalian kepada-Ku niscaya Aku akan ingat kepada kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku". (Al-Baqarah : 152)
"Artinya : Dan sesungguhnya berdzikir (mengingat) Allah adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain)". (Al-Ankabut : 45)
Dalam mengisahkan Yunus 'Alaihi al-Salam, Dia berfirman.
"Artinya : Maka kalau sekiranya dia (Yunus) tidak termasuk orang-orang yang banyak berdzikir kepada Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di dalam perut ikan itu sampai hari berbangkit". (Al-Shaffat : 143-144)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Rabbnya dengan orang yang tidak berdzikir adalah seperti orang hidup dan orang mati". (Diriwayatkan oleh Muttafaqun 'alaih dari hadits Abu Musa Al-Asy'ari Radhiyallahu 'anhu).
Diantara bentuk kemurahan Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap kaum wanita adalah memberikan keringanan kepada kaum wanita untuk berdzikir kepada-Nya selama menjalani masa haid, meski pada saat itu mereka tidak boleh mengerjakan shalat dan puasa.
Ummu Athiyah Radhiyallahu 'anha menceritakan.
"Artinya : Kami diperintahkan keluar pada hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, juga wanita pingitan dan gadis".
'Wanita-wanita haid keluar rumah dan menempati posisi di belakang jama'ah yang mengerjakan shalat, dan bertakbir bersama-sama mereka', Lanjut Ummu Athiyyah". (Hadits Riwayat Muttafaqun 'alaih).
Imam Nawawi Rahimahullah juga mengatakan.
"Ucapan Ummu Athiyyah, 'Wanita-wanita haid itu bertakbir bersama jama'ah' menunjukkan dibolehkannya zikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala bagi wanita haid dan wanita sedang junub. Yang diharamkan baginya adalah membaca Al-Qur'an".
Disalin dari buku 30 Keringanan Bagi Wanita, oleh Amr Bin Abdul Mun'in terbitan Pustaka Azzam - Jakarta.
* Keringanan Berdzikir Kepada Allah Bagi Wanita Haid

Hukum Wudhunya Orang Yang Menggunakan Kutek

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah hukum wudhunya orang yang menggunakan kutek pada kuku-kukunya ?
Jawaban.
Sesungguhnya kutek itu tidak boleh dipergunakan wanita jika ia hendak shalat, karena kutek tersebut akan menghalangi mengalirnya air dalam bersuci (pada bagian kuku yang tertutup oleh kutek itu), dan segala sesuatu yang menghalangi mengalirnya air (pada bagian tubuh yang harus disucikan dalam berwudhu) tidak boleh dipergunakan oleh orang yang hendak berwudhu atau mandi, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
    "Artinya : Maka basuhlah mukamu dan tanganmu". (Al-Maidah : 6)
Jika wanita ini menggunakan kutek pada kukunya, maka hal itu akan menghalangi mengalirnya air hingga tidak bisa dipastikan bahwa ia telah mencuci tangannya, dengan demikian ia telah meninggalkan satu kewajiban di antara beberapa yang wajib dalam berwudhu atau mandi.
Adapun bagi wanita yang tidak shalat, seperti wanita yang mendapat haidh, maka tidak ada dosa baginya jika ia menggunakan kutek tersebut, akan tetapi perlu diketahui bahwa kebiasaaan-kebiasaan tersebut adalah kebiasaan wanita-wanita kafir, dan menggunakan kutek tersebut tidak dibolehkan karena terdapat unsur menyerupai mereka.
(Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/148. Di susun oleh Fahd As-Sulaiman)
Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal. 6-7 penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin.
* Hukum Wudhunya Orang Yang Menggunakan Kutek